Bertemu Lagi

41 12 0
                                    

Dua bulan berlalu sejak pertemuan terakhir mereka hari itu. Jenar melalui harinya seperti sedia kala. Tinggal  bersama kakak lelakinya yang bernama Jetro karena ayah mereka meninggal sewaktu Covid. Sedangkan ibu mereka kabur entah ke mana sewaktu Jenar berusia dua tahun.

Jenar berusaha menepis bayangan Gena. Sampai saat ini mereka tidak pernah bertemu lagi. Kisah mereka usai secepat itu seolah tidak ada artinya. Bahkan ciuman mereka hari itu hanya sebagai pengisi kekosongan. Jenar tersenyum miris. Meski berusaha denial, tetap saja relung hatinya terasa sakit bila mengingat pria itu. Bahkan sakitnya beda dengan sakit yang ia rasakan saat tahu Hanif bertunangan.

Apa mungkin karena dengan Hanif hanya cinta sepihak, sementara dengan Gena ia merasakan interaksi mereka setimpal? Jenar terus memikirkan hal ini.

Menggeleng samar, Jenar kembali fokus pada kehidupannya saat ini. Maka di sinilah ia berada saat ini. Tepatnya di dapur, sedang membuatkan sarapan untuk sang kakak yang sebentar lagi akan berangkat bekerja.

Bibir ranum itu tersenyum melihat nasi gorengnya sudah matang. Mematikan api kompor, ia ambil piring untuk menaruh sajian yang dimasaknya itu.

"Jen, Mas berangkat agak cepat, ya?"

Seruan dari belakang membuat Jenar menoleh. Tampak Jetro telah rapi dengan setelan kerjanya. Fyi, Jetro memiliki sebuah perusahaan design arsitek. Kakaknya itu cukup mapan dan mampu menghidupi dirinya. Hanya saja saat ini Jenar masih belum mendapatkan pekerjaan meski sudah dua bulan ia diwisuda.

"Lho, kok cepat banget? Aku baru masak ini buat Mas. Sarapan dulu, lah. Jangan terlalu buru-buru!"

"Tapi—"

"Udah, Mas diam aja. Selalu gini tiap pagi. Sepenting itu banget, ya, pekerjaan buat Mas sampai nggak mau nyicip makanan adik sendiri?" oceh Jenar panjang lebar.

Jetro menghela napas. Sudah biasa ia mendengar celotehan Jenar yang bawel dan berisik itu. Padahal Jenar tahu ia pribadi yang disiplin dan profesional dengan pekerjaan. Pagi ini Jetro ada jadwal meeting. Jadi ia rasa, sebagai pimpinan tentu ia harus datang tepat waktu ke kantor sebelum karyawannya tiba. Jenar saja yang pola pikirnya berbeda dengan dirinya.

"Mas ada meeting," lapor Jetro.

"Jam berapa emangnya?"

"Jam delapan. Mas harus tepat waktu."

Jenar lantas melirik jam di dinding. "Bahkan hari belum jam tujuh. Mas, tolong deh dikurang-kurangi kebiasaan Mas yang over profesional itu. Coba contoh aku. Hidupnya santai. Let if flow—"

"Saking santainya Mas suruh kerja di perusahaan Mas nggak mau," ledek Jetro.

Jenar cemberut mendengarnya. Ia menghentakkan kakinya dan meletakkan piring nasi goreng itu ke atas meja. "Nyindir mulu."

Gemas, Jetro mengacak rambut adik perempuannya itu. "Makanya. Jangan hura-hura terus. Kamu harus mikir masa depan kamu gimana. Mas nggak selamanya bisa sama kamu. Mas—"

"Bentar. Kok Mas ngomong gitu? Mas mau ninggalin aku juga kayak Mama sama Papa?" tebak Jenar tak tenang.

Jetro segera menggeleng. "Bukan. Kamu jangan salah paham dulu. Maksud Mas, suatu saat Mas pasti akan berkeluarga. Kamu juga begitu. Nggak selamanya jadi adik manja Mas."

Jenar mendadak sedih. Ia peluk tubuh kakaknya itu sambil mendusel-duselkan hidungnya di dada bidang Jetro. "Ih, jangan gitu. Aku nggak mau ditinggal. Cuma Kakak yang aku punya," ringiknya.

Jetro menarik napas dalam. Sepertinya pergi ke kantor sekarang tanpa menyentuh sarapan yang dibuatkan Jenar adalah hal yang akan memancing war antara mereka. Untuk itu Jetro mengalah. Ia usap punggung sang adik, dan setelah Jenar sedikit tenang, barulah ia lepas pelukan mereka. Jetro pun duduk di kursi meja makan dan menyuruh sang adik duduk di sebelahnya.

Ours BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang