Epilogue

46 12 0
                                    

"Duh, cantiknya sahabat gue yang bentar lagi jadi istri orang. Nanti jangan grogi ya pas malam pertama. Ingat tips dan trik yang gue ajarin tadi."

"Jangan mulai lagi, Han. Nanti make up gue retak kalau keseringan ngobrol ladenin lo!"

Jenar mencubit lengan sahabatnya yang sejak tadi sibuk mengoceh tidak jelas. Mereka berada di kamar Jenar. Hari ini adalah hari yang Jenar tunggu-tunggu dalam hidupnya, yaitu hari di mana ia akan menikah dengan Gena.

Mematut diri di cermin, Jenar tampak terpukau dengan penampilannya sendiri. Ia mengenakan kebaya putih bertabur berlian mahal, dengan make up dari MUA ternama yang biasa merias selebriti. Betapa cantiknya Jenar dengan riasan wajah yang simpel tapi elegan itu.

Setelah melewati perjalanan panjang, akhirnya mereka menikah juga. Mereka menikah tepat saat Jihan berumur dua bulan. Memang semuanya terkesan cepat. Tapi, mereka tidak mau lagi menunda-nunda waktu. Buat apa pacaran sementara keduanya sudah saling ingin sejak lama? Lebih baik hubungan itu diresmikan ke jenjang pernikahan sekalian, bukan?

Omong-omong soal Jihan, bayi itu berada di tangan Mama Hana yang sudah menganggap Jenar seperti anaknya sendiri. Ah, keluarga Hana semuanya diundang, termasuk dokter Hanif. Sebagai informasi, Hanif tidak jadi menikah dengan Yuna. Mereka berpisah setelah banyak konflik yang terjadi saat mereka berjauhan. Salah satunya karena cinta mereka belum terlalu kuat. Hanif ingin mencari calon istri yang keibuan dan bisa menjalankan tugas rumah tangga dengan baik, sementara Yuna lebih memilih karir. Jalan pikiran mereka yang berbeda membuat keduanya tidak sejalan, dan akhirnya memutuskan pisah.

"Gue pikir tadinya lo bakal berakhir sama Kakak gue," kekeh Hana. "Ingat nggak omongan-omongan halu kita pas remaja. Lo bersikeras mau jadi Kakak Ipar gue."

"Ya, gue ingat. Tapi inilah hidup. Kita nggak bisa merealisasikan semua keinginan kita kalau Tuhan nggak menghendaki."

Hana mengangguk setuju. Ia rapikan melati di atas sanggul sang sahabat. "Sekarang lo dapat yang lebih dari kakak gue. Gue bahagia banget. Mas Gena itu lelaki baik. Gue bisa ngerasain tulusnya dia ke lo. Gue bersyukur sahabat gue jatuh ke orang yang tepat."

"Lo sendiri kapan nyusul? Biar kita bisa double date versi halal," goda Jenar.

Hana tersipu malu. Hubungannya dengan Fadlan memang belum sejauh Gena dan Jenar yang langsung ke tahak pernikahan. Tapi, minggu lalu kedua orang tua mereka sudah bertemu. Ya, Fadlan sudah melamar Hana. Dan mereka akan bertunangan dalam waktu dekat ini.

"Doain aja semua lancar. Minggu depan kami tunangan. Lo harus datang, 1ya!"

"Pasti," ujar Jenar.

Bersamaan dengan itu, ponsel Hana bergetar dari saku rok yang ia pakai. Muncul nama Gena di layar.

"Buset, calon lo nelfon gue nih," kata Hana menunjukkan layar ponselnya.

"Angkat," suruh Jenar.

Begitu sambungan telfon terhubung, Gena langsung bertanya, "kamu lagi sama Jenar, nggak?"

"Ini di sini. Baru selesai dirias."

"Oh ... Mas minta tolong jagain dia bentar, ya. Kira-kira lima belas menit lagi akadnya dimulai."

Hana refleks terbahak. "Jadi Mas nelfon cuma untuk suruh aku jagain calonnya Mas? Itu sih nggak perlu diingatin. Udah tugas negara buat aku," kekehnya seraya menyikut-nyikut bahu Jenar.

"Mas boleh VC nggak? Kasih ke Jenar."

"Enggak! Nanti aja pas udah sah. Tahan dulu kenapa, sih? Kebelet banget, Mas? Ntar malam juga full bobo bareng," goda Hana.

Gena langsung memutus sambungan telfon karena malu. Detik itu juga tawa Hana hadir mengisi udara. Memang dasar Gena. Tiap menit selalu menanyakan di mana Jenar apabila gadis itu jauh darinya. Padahal sebentar lagi mereka juga akan menikah.

"Apa katanya?" tanya Jenar, kepoo.

"Dia nyuruh lo jagain gue. Emang pawang lo posesif banget, ya. Lima belas menit lagi, lho, padahal kalian ketemu."

Jenar tersipu malu. Ada-ada saja tingkah Gena yang membuat dirinya tersenyum—merasa semakin cinta.

***

Janji suci pernikahan telah mereka lakukan di hadapan penghulu beberapa menit lalu. Sepasang cincin melingkar di jari keduanya, mengikat mereka dalam hubungan suami istri yang harus saling setia sampai maut memisahkan.

Pernikahan ini, selain mengikat mereka, juga resmi menjadikan mereka orang tua angkat untuk Jihan.

Gena menatap sang istri yang begitu cantik hari ini. Tak henti ia tersenyum bila menatap kesayangannya itu. Begitu pun dengan Jenar yang tidak bisa mengalihkan matanya dari sang suami tercinta. Mereka sangat serasi bersanding di pelaminan. Kebaya putih yang Jenar kenakan menyatu dengan beskap senada yang menempel di tubuh atletis Gena.

"Cium, cium, cium!"

Para tamu menyoraki keduanya—yang telah selesai melaksanakan akad nikah. Jenar merunduk malu, ia segan kemesraan mereka ditonton oleh orang banyak. Namun, Gena merasa rugi jika tidak memanfaatkan kesempatan ini dengan baik. Maka ia raih dagu Jenar hingga membuat wajah istrinya itu terangkat.

"Sayang, rileks," bisik Gena.

Jenar menarik napas dalam-dalam. Ia meremat bagian depan beskap Gena saat bibir suaminya itu berlabuh di bibirnya. Mereka berciuman, disaksikan oleh para tamu undangan. Termasuk Hana, Fadlan, dan juga Hanif. Semuanya turut bahagia menyaksikan adegan tersebut.

****

"Istriku," panggil Gena. Ia kecup pipi wanitanya, membuat Jenar refleks menepuk punggung tangan Gena pelan. Malu dilihat oleh para tamu yang berdatangan.

"Sabar, Mas. Malu dilihat orang," tegur Jenar.

Mas. Jenar memutuskan memanggil suaminya dengan sebutan itu setelah mereka resmi menjadi suami istri.

"Mana bisa sabar, Sayang? Maunya langsung culik kamu buat diajak ke kamar. Mas pegal duduk di sini dari tadi," kata Gena.

"Mas," tegur Jenar.

Gena terkekeh. Ia raih jemari sang istri, lantas ia genggam erat. Melihat Jenar tersipu merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Gena. Gena menatap leher Jihan yang dihiasi kalung dengan permata berkilauan. Ia mengenal kalung itu, menyentuhnya dengan jemarinya. "Kamu masih menyimpannya?" Katanya dengan wajah terharu. Jenar tersenyum sambil berbisik, "Tentu saja, walau saat itu aku anggap kamu brengsek tapi aku jatuh cinta padamu sayang." Wajahnya tersipu malu.

"Maunya adek Jihan cewek apa cowok, Sayang?" bisik Gena.

Lagi, Jenar menabok suaminya. Mereka sibuk tertawa di atas pelaminan. Tawa keduanya baru berhenti saat ada tamu yang menghampiri untuk mengucapkan selamat.

Pada akhirnya, yang berjodoh akan tetap berjodoh. Dan Genalah yang membantunya berenanh mengaruni semua ombak dalam kehidupan Jenar. Tidak peduli seberapa besar dulunya Jenar mencintai Hanif. Kalau semesta mengutus Gena untuk jadi suami Jenar, lantas Hanif yang sudah putus dengan Yuna itu bisa apa?

****

Ours BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang