Jihan, Our Baby!

40 12 0
                                    

Jenar dan Gena pulang ke rumah setelah kondisi Jenar sedikit baikan. Meski tadinya Gena sempat melarang karena ingin Jenar mendapat perawatan intensif di rumah sakit.

Jenar jadi lebih banyak diam sepanjang perjalanan. Gena memaklumi perubahan mood gadis itu. Jenar baru saja kehilangan kakaknya. Pasti ia masih terpukul mengenai hal ini.

Kini mereka sudah sampai di rumah. Rumah tersebut masih dipenuhi oleh para pelayat yang terus berdatangan. Hana langsung menyambut keduanya. Tentunya bersama Fadlan yang ternyata belum pulang sejak tadi malam.

"Beb," panggil Hana, kemudian memeluk erat tubuh sahabatnya itu. Hana tidak tahu sama sekali sahabatnya itu sempat drop dan dirawat di rumah sakit. Namun Hana berpikir, Jenar pasti belum kembali karena sibuk menjaga keponakannya yang baru lahir. Dan Hana memaklumi hal itu.

Usai berpelukan, Hana membawa Jenar masuk. Untuk saat ini kondisi mental Jenar sangat terganggu. Sulit rasanya ia membaur dengan para pelayat itu. Maka Jenar memutuskan untuk istirahat di kamar saja. Lebih tepatnya kamar lama miliknya sebelum memutuskan pindah ke apartemen.

Gena mengikuti mereka sampai pintu. Ia tidak ikut masuk ke kamar Jenar karena ingin memberikan ruang privasi untuk gadis itu. Diajak Fadlan, akhirnya Gena memutuskan untuk duduk di ruang tamu bersama para pelayat.

Sementara itu, Jenar langsung merebahkan badannya ke ranjang empuk yang telah lama ia tinggalkan. Mata Jenar terasa kian perih mengingat semua kenangannya di rumah ini.

Andai waktu bisa diulang, tidak akan pernah ia pindah dari rumah ini.

Andai waktu bisa diulang, akan ia isi hari-hari Jetro dan Astri dengan tetap berada di dekat kakaknya itu.

Dan andai waktu bisa diulang, mungkin akan ia ucapkan seribu kali kata sayang dalam sehari agar saat kakaknya itu pergi tidak ada rasa sesal yang tertinggal di hati Jenar.

Namun nasi sudah menjadi bubur. Yang tersisa hanyalah penyesalan atas egonya selama ini. Ego yang ternyata menciptakan trauma mendalam bagi Jenar.

"Makan sedikit, yuk? Gue suapin," tawar Hana seraya mengusap air mata Jenar yang terus berjatuhan ke pelipisnya.

Jenar menggeleng. Tatapannya benar-benar kosong seperti tidak memiliki semangat hidup. "Gimana bisa gue makan di saat kayak gini, Han? Gue nggak sanggup," bisiknya parau.

Hana menghela napas pasrah. Dadanya terasa engap membayangkan berada di posisi Jenar. Pasti sangat berat dan sakit ....

"Kenapa, ya, orang-orang yang gue sayang ninggalin gue? Apa gue ditakdirkan sendiri sampai kapan pun? Gue capek, Han. Capeeeek banget. Mentang-mentang gue udah pernah kehilangan beberapa kali, terus sekarang Tuhan ngasih kehilangan kesekian kalinya buat gue. Gue nggak setegar itu!"

"Gue belum bisa nerima kepergian Mas Jetro. Ini masih kayak mimpi buat gue!"

"Gue nggak sanggup, Hana. Nggak sanggup ...."

Hana membiarkan Jenar mengoceh mengungkapkan isi hatinya. Tak sedikit pun ia sela, malah ia dengarkan baik-baik keluh kesah gadis itu. Mungkin dengan mengeluarkan uneg-uneg kesedihan Jenar bisa berkurang. Itu harapan Hana.

"Sekarang Mas Jetro ninggalin gue bayi. Gue bingung harus gimana. Lo tau kapasitas gue. Rasanya berat buat gue ngerawat bayi itu. Tiap ngelihat dia gue akan terus keingat sama kakak gue yang udah nggak ada," ungkap Jenar tanpa memikirkan kata-katanya barusan.

Bukannya bermaksud tidak menerima anak itu. Hanya saja butuh waktu bagi Jenar menerima kenyataan. Perihal kehilangan, perihal ia yang biasanya sendiri dan kini harus menjadi ibu sambung otomatis bagi bayi itu. Tentu ini tidak mudah bagi Jenar ....

Ours BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang