Tanpa Hak Cemburu

40 12 0
                                    

"Ya, dia orangnya. Dia yang bikin aku menenangkan diri ke pantai, dan akhirnya ketemu kamu."

Gena merasakan kupingnya memanas mendengar hal tersebut. Namun, sebisa mungkin Gena menjaga wajahnya agar tetap tenang. Ia tidak boleh terlihat kesal. Walau di otak Gena tersimpan banyak pertanyaan saat ini, yang intinya, sejauh mana hubungan mereka dulu?

"Aku juga nggak nyangka ketemu dia di rumah sakit itu."

Satu kata yang menjadi respon Gena kala itu. "Oh...."

Seolah penjelasan Jenar tak berarti apa-apa baginya. Padahal, jauh di lubuk hati Gena, ia merasa cemburu melihat Hanif dan Jenar bertemu lagi. Mana tadi cara bicara mereka terlihat akrab. Berbeda ketika Jenar bersamanya. Perempuan itu masih saja kikuk, bahkan sering menghindar darinya. Sekarang karena ada Jihan di antara mereka lah hubungan mereka sedikit membaik. Tapi tolong dicatat. Itu karena Jihan, bukan karena Jenar yang ingin dari hati.

Gena merasa dirinya begitu menyedihkan. Hanya dijadikan pelarian oleh Jenar dari lelaki yang bernama Hanif itu.

"Ya, aku jelasin ke kamu biar kamu nggak salah paham aja. Aku—"

"Bukan urusanku. Kalau kamu mau ngobrol lama sama dia pun nggak masalah, tapi enggak pas kita sama Jihan juga. Hargai Jihan. Kalau mau pacaran, ya jangan libatin orang lain," sela Gena cepat.

Ucapannya sukses membuat Jenar terdiam, merasa malu.

"Oh ... iya. Maaf," ujar Jenar sambil mengarahkan pandangannya ke jendela.

Suasana kembali hening. Tidak ada lagi yang berniat membuka suara setelah itu.

Hingga setelah mobil Gena berhenti di depan supermarket, barulah Jenar bertanya. "Kita nggak pulang?"

"Lupa ya? Tadi kamu yang ajak kita belanja bulanan," ujar Gena.

Jenar baru ingat. Ia menepuk jidatnya sendiri. "Oh, iya. Aku lupa."

Dan setelahnya mereka membuka pintu mobil. Seperti biasa, Gena selalu sigap menggendong Jihan. Kain gendongan bayi itu perlahan Jenar pindahkan ke Gena, lantas disusul setelahnya dengan memindahkan Jihan.

Mereka masih saja berdiam diri. Namun ketika masuk ke supermarket, Jenar memberanikan diri melingkarkan tangannya di lengan Gena. Mereka berjalan bergandengan selayaknya pasangan suami istri.

Kini mereka sampai di rak yang memuat susu untuk bayi. Sebelum mengambil barang-barang yang akan dibeli, Gena lebih dulu mengambil troli sebagai wadah untuk meletakkan barang-barang itu.

Melihat Jenar yang kecapean berjalan membuat Gena memiliki sebuah ide.

"Mau duduk di sini? Biar aku yang dorong," tawarnya.

Jenar agak terkejut mendengar penawaran itu. Namun sepertinya ide itu boleh juga. Jenar pegal, ditambah ia ingin merasakan sensasi naik troli.

Maka, dengan malu-malu, Jenar menjawab, "Mauu."

"Kamu gendong Jihan, ya?"

Jenar mengangguk. Terlebih dahulu ia masuk ke troli tersebut—dibantu oleh Gena—lalu Jihan perlahan Gena pindahkan di gendongan Jenar. Gena terkekeh, lucu juga melihat Jihan ada di dalam troli. Tinggal ia dorong-dorong saja seperti mendorong anak kecil.

Mereka tertawa bersama. Sejenak beban kepedihan ditinggal kakak mereka bisa terlupakan. Jenar benar-benar terhibur. Rasanya menyenangkan dimanja seperti ini. Dulu, sewaktu Leknor masih hidup dan belum menikah dengan Astri, ia juga diperlakukan begitu manja oleh kakaknya itu. Jenar seolah kembali ke masa kecil karena diperlakukan selembut ini oleh Gena ....

"Pembalut aku habis. Kayaknya aku mau mens dua hari lagi kalau ikut hitungan siklus bulanan," ucap Jenar saat melewati rak popok bayi.

Gena menuruti kemauan Jenar. Mereka mengambil pembalut beberapa pack setelah mengambil popok.

Selanjutnya mereka menuju rak cemilan. Gena dan Jenar berdebat karena pilihan snack mereka yang tidak sama. Gena melarang keras Jenar mengambil makanan pedas. Namun Jenar malah misuh-misuh. Ia suka makanan pedas walau membuat sakit lambung sekali pun.

"Keras kepala banget!" Gena bersungut-sungut.

"Biarin. Paling nanti kamu juga minta."

"Nggak akan," elak Gena.

"Oke. Kita lihat aja nanti!"

***

Dan ternyata, dugaan Jenar benar. Diam-diam, ketika Jenar menidurkan Jihan, Gena menyicip makaroni pedas yang mereka beli tadi. Bahkan tak tanggung-tanggung, makaroni itu tersisa sedikit di dalam toples.

Alih-alih marah, Jenar justru tertawa. Tawanya membuat Gena terlonjak seperti habis kepergok maling sesuatu.

"Tuh, apa aku bilang. Kamu nolak-nolak nyatanya malah doyan."

Perempuan itu menyusul Gena yang kini duduk di sofa ruang tamu. Ia rampas toples itu dari tangan Gena, lalu memakan makaroni yang ada di dalamnya.

"Aku cuma nyicip," sanggah Gena membela diri.

"Nyicip tapi kok bisa kebablasan sampai setengah gini?" ledek Jenar.

Gena terdiam, bingung mau berkilah apa lagi.

Melihat wajah merah padam Gena membuat tawa Jenar pecah. Tanpa sadar ia toel-toel pipi cowok itu gemas.

"Jen, jangan ditoel. Ak—aduh!" Gena menangkap telunjuk Jenar yang menoel pipinya. Ia lepaskan pelan-pelan telunjuk tersebut, lantas ia pindahkan jemari-jemari kecil Jenar ke dalam tangannya yang hangat.

"Iya, aku salah udah makan makaroni kamu. Habisnya ... enak," Gena mengaku juga.

Jenar malah tertawa. Ia acak-acak puncak kepala Gena dengan sebelah tangannya yang terayun bebas. "Aku nggak apa-apa kok. Udah, ih. Kayak akunya pelit banget. Kalau mau makan ya makan aja..."

Hening mengambil alih suasana. Hanya suara televisi menyala yang menjadi pengiring kebersamaan mereka. Sekarang bukan lagi mereka yang menonton televisi, melainkan televisi itu yang menonton mereka.

"Oh, iya. Tadi sekretaris Kak Leknor ngechat aku, kalau aku ada rapat mendadak besok. Ini penting banget karena menyangkut masalah perusahaan. Harusnya Kak Leknor yang hadir di rapat ini. Tapi kamu kan tau kalau Kakakku udah...." Jenar tidak jadi melanjutkan perkataannya.

Gena mengusap punggung Jenar. "Iya, aku paham. Kalau kamu mau datang, ya datang aja. Itu penting dan nggak bisa ditunda, 'kan? Aku bisa jaga Jihan."

"Terus kamu gimana ke kafenya?"

"Libur dulu aja. Itu bisa diatur nanti," jawab Gena.

Jenar memeluk Gena dari samping. Ia mengatakan, "Makasih karena udah pengertian. Tapi ... aku jadi mikir. Nggak mungkin selamanya kamu bisa gantiin aku. Kamu tau Kakakku pemilik perusahaan. Mau nggak mau, aku tetap harus kerja untuk gantiin dia. Cuma aku harapan dia satu-satunya. Tapi aku malah bingung karena sekarang ada Jihan di hidup aku."

Gena terdiam. Ia mengerti kegelisahan Jenar. Sejujurnya, ia juga merasa masa mudanya terampas karena mengurus bayi ini. Gena memiliki banyak kafe yang haru ia pantau. Tidak mungkin ia percayakan semuanya pada Fadlan. Mau meninggalkan Jenar sendiri, Jenar juga belum terbiasa mengasuh Jihan.

Dan satu masalah terbesar yang harus mereka hadapi saat ini, yaitu ... mereka bukanlah sepasang suami istri sehingga bisa tinggal serumah dalam waktu yang lama. Tetap ada batasan untuk itu. Apa kata orang nanti jika mereka tinggal berdua tapi tidak memiliki hubungan darah, atau ikatan suci sebagai suami istri? Gena memikirkan hal tersebut serta dampak yang akan mereka terima ke depannya.

Jalan satu-satunya adalah ....

"Gimana kalau kita cari pengasuh buat Jihan?"

****

Ours BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang