Dan Semua yang Kau Cinta

39 12 0
                                    

Sembilan bulan ini, Jenar melalui hari-hari seperti biasanya. Tinggal terpisah dengan Jetro dan belajar hidup mandiri dengan tinggal di apartemen. Dari yang awalnya hanya karena ingin menghindari Gena, sekarang Jenar terbiasa hidup sendiri. Ia sering menghindar bila Astri dan Jetro mengajak untuk sekedar makan bersama. Sebegitu kuat tekad gadis itu untuk menjauh dari lelaki yang ia kenal hitungan hari itu.

Akan tetapi, Jenar tentu tidak bisa selamanya memakai alasan sibuk sebagai tameng untuk menghindari pertemuan. Adakalanya ia harus mengiyakan ajakan Jetro dan Astri karena tidak ingin kakak dan iparnya itu curiga.

Seperti saat ini contohnya. Astri  yang rewel karena rindu pada Jenar itu entah berapa kali menelfon sejak tadi pagi, menyuruh Jenar datang ke rumah untuk merayakan ulang tahun Astri. Jenar kehabisan alasan untuk menolak Astri. Pada akhirnya ia mengiyakan ajakan iparnya itu.

"Iya, Mbak. Jenar usahakan datang, ya."

"Wajib! Mbak marah kalau kamu nggak datang. Selama ini Mbak pikir kamu marah sama Mbak karena nggak pernah datang berkunjung ke sini. Mbak sampai berpikiran kamu pergi dari rumah karena nggak terima pernikahan Mbak sama Mas ...." Astri menyahut dari seberang.

"Enggak gitu, Mbak," desah Jenar sembari memijat pangkal hidungnya. "Aku sama sekali nggak keberatan Mbak nikah sama Mas. Aku emang sibuk akhir-akhir ini. Duh, maafin aku ya kalau sikapku bikin Mbak salah paham. Sama sekali aku nggak bermaksud gitu," terangnya merasa bersalah.

"Kalau gitu datang ya, Jen, besok malam. Cuma acara kecil-kecilan kok. Nggak acara besar. Mbak tiba-tiba kangen berat sama kamu. Nggak tau kenapa ..."

Jenar terdiam. Jujur, ia juga rindu pada iparnya itu. Bohong kalau Jenar tidak ingin berada di tengah-tengah kakak dan iparnya. Jenar sudah lama tidak merasakan hangatnya  keluarga. Ia ... benar-benar kesepian.

"Iya, Mbak. Jenar usahakan datang ya?"

"Makasih, Sayang..."

Dan setelahnya mereka pun berpamitan untuk mengakhiri pembicaraan di telfon. Usai sambungan telfon terputus, Jenar termenung di meja kerjanya. Pikirannya menerawang jauh pada Gena.

"Kenapa ya susah lupain dia? Beda waktu lupain Mas Hanif dulu. Gue capek ngehindar terus," celetuk Jenar murung.

Gena, Gena dan Gena. Lelaki pemilik kedai kopi itu terus-terusan hadir di benaknya. Dan kini ia harus mempersiapkan diri bertemu Gena di perayaan ulang tahun kakak iparnya itu.

"Nggak! Gue nggak boleh terus-terusan gini. Gue harus coba bersikap biasa aja sama dia!" Jenar bertekad mengubah pola pikirnya.

***

Sepulangnya dari kantor, Jenar mampir ke toko perlengkapan bayi untuk membeli hadiah ulang tahun. Dikarenakan sudah masuk bulan ke sembilan, Jenar memutuskan untuk memberikan Astri hadiah ulang tahun berupa barang yang bisa dipakai nantinya untuk Astri setelah melahirkan. Oleh karena itulah ia berada di toko yang letaknya tidak jauh dari kantornya ini.

Jenar melangkah ke arah pakaian setelah melahirkan. Tampak di sana baju-baju ibu menyusui yang tergantung rapi di hanger. Jenar pikir sebaiknya ia membelikan Astri daster dan pakaian dalam saja. Ini lebih berguna semasa Astri menyusui anaknya nanti.

"Kayaknya yang ini bagus, deh."

Perhatian Jenar tertuju pada daster berwarna maroon dengan motif bunga daisy. Merasa tertarik, Jenar pun meraih hanger daster tersebut. Akan tetapi, belum sempat baju itu ia turunkan, sebuah tangan mendarat di hanger tersebut hingga membuat tangannya dan tangan orang itu bersentuhan.

Jenar menoleh, bersamaan dengan itu pria yang barusan memegang hanger itu ikut menoleh ke arahnya. Detik itu juga nafas Jenar tertahan melihat siapa yang muncul di hadapannya.

Ours BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang