28 - Lingga Nasution

2.5K 291 65
                                    

"Ini kedua kalinya gue disangka homo sama personil dari keluarga lu, Bang! Lu sekeluarga tobat deh! Jangan bikin dosa mulu kerjaannya!"

Laki-laki horor itu tertawa puas sambil menepok-nepok paha Pakdhe yang duduk di sebelahnya.  Pakdhe menjerit jijik waktu pria itu tiba-tiba memeluk manja Pakdhe, yang langsung disambut dengan pemberontakan heboh.

"Apaan sih, Miko! Jangan sok-sok nolak deh! Lu kan giniin gue tadi malem, kangen banget udah lama nggak ketemu gue katanya."

"NAJIS! MANA ADA, LAPET!" teriak Pakdhe sambil berusaha berontak, tapi kayaknya tenaga lawannya kali ini sepadan sama dia. Jadilah Pakdhe cuma bisa menendang-nendang cowok itu yang menghindar sambil ketawa-ketawa. "Brengsek! Jangan sentuh gue! Lepasin gue, Bang! Bang Lingga! Anjir, gue aduin Nyak lu nih!"

Gue yang menduduki sofa di hadapan mereka berdua cuma senyum kecut. Belum pernah kan lu nonton bos lu perform gulat bebas secara live di depan mata? Ini gue sedang. Gue juga nggak ngerti kenapa hidup gue bisa ada aja kejadian begini.

Yah, gue habis kena tipu lagi tadi. Emang ya, sekeluarganya Pakdhe tuh error semua. Pantesan Pakdhe juga begitu bentuknya.

Iya. Itu Bang Lingga, Lingga Nasution. Inget kan lu, dulu Pakdhe pernah cerita tentang dia. Anak pertama dari keluarga Nasution, sekaligus bapaknya si Gaput yang kerja di luar negeri. Gue sama sekali nggak kepikiran itu Bang Lingga, karena di kepala gue kakaknya Pakdhe itu pasti ya seperti bapak-bapak pada umumnya. Dandanan konservatif ala bapak-bapak, tampang galak dan pinter,  berkacamata, dengan rambut rapi macem perlente.

Mana pernah gue bayangin bapaknya si Gaput adalah om-om fashionista, bertato, dan rada mlehoy kayak gini. Dan yang bikin gue nggak ngeh kalau dia keluarganya Pakdhe, logat betawinya Bang Lingga nggak terlalu kental. Entahlah, masuk akal karena mungkin dia kelamaan tinggal di luar negeri, jadi bahasanya lebih ke campur-campur Indonesia-Inggris.

Beberapa menit berlalu dan gulat bebas itu akhirnya selesai, kayaknya Bang Lingga kasihan sama Pakdhe. Bos gue langsung ngacir dan pindah duduk di sebelah gue karena takut. Dua-duanya sekarang duduk tenang dengan nafas ngos-ngosan, khususnya Pakdhe. Matanya masih menatap tajam kakaknya yang cengengesan, waspada siaga satu saking takutnya dipegang-pegang lagi.

"Kayaknya tadi Mas bilang itu kenalan Mas, deh." gue menggumam pelan. "Coba kalau Mas bilang itu Bang Lingga, saya nggak bakal ketakutan kayak tadi."

"Gue nggak mau ngakuin dia kakak gue!"

Gue menoleh ke arahnya, yang masih fokus mengawasi Bang Lingga. "Jangan bilang dia juga temen banci yang Mas bilang, waktu Mas cosplay jadi banci?"

Pakdhe melirik gue sejenak. "Seratus buat lu."

Aduh, pening pala gue menghadapi keluarga sinting ini. Ini keluarga apaan sih? Kenapa gue harus terlibat di dalamnya?

"Udah ah, Miko. Gue capek tau. Masa jauh-jauh balik dari Hong Kong gue harus berantem sama lu." Bang Lingga meraih bungkusan minimarket yang tadi dibeli Pakdhe. "Beli makan apa lu buat gue?"

"Liat aja disitu, Bang!"

Mata Bang Lingga menyipit sambil tangannya mengeluarkan sebuah bungkusan kecil warna putih dan ijo. Gue paham itu apa, onigiri. "Gue tadi bilang, kalau ada bakcang beliin buat gue. Gue kangen makan bakcang. Bakcang, bangs*at, kenapa jadi onigiri!"

"Eh, mata lu baek-baek ya Bang! Itu konsepnya sama! Bakcang dari nasi, onigiri juga dari nasi! Bakcang ada isinya, onigiri kan juga ada isinya!" Pakdhe membela diri. "Itu bakcang juga! Bakcang jepang."

Tasha! (A Sequel of Pakdhe!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang