Setelah kejadian kemaren gue jadi charger buat Pakdhe, hari berikutnya dia masuk mendadak kayak orang kelebihan gula. Semua kerjaannya tiba-tiba kelar. Mejik. Romy Rafael kali bisa mejik.
"Nggak bisa dong, Galuh. Kok bisa lu tunda-tunda klien minta rilis minggu ini!" omelnya di ruangan waktu Mas Galuh dan gue masuk bawa report yang belom kelar. "Kan dia udah kasih semua datanya. Apalagi yang ditunggu? Jangan sampai CFOnya nelponin gue lagi kayak tahun kemarin!"
Mas Galuh menghela nafas. "Mas, tapi nggak mungkin release minggu ini! Kan perhitungan yang kemarin baru masuk ke Mas Tion, Mas pasti butuh waktu beberapa hari buat review ..."
Plok!
Sebuah kertas disodorkan di depan muka kami berdua. Report yang halaman depannya udah penuh coretan tinta merah.
Mas Galuh dan gue saling berpandangan. Gue mengambil bendel kertas itu dan membalik-baliknya. Semua ada tanda kalau udah dicek, bahkan yang masih kosong tiba-tiba udah ada coretan angkanya, lengkap dengan rumus perhitungannya. Dan report itu nggak tipis lho, ada kali 170 halaman, dan itu baru dikasih kemarin malam ke dia.
Julukan weird genius itu nggak berlebihan. Pakdhe beneran sejenius itu kalau baterenya lagi penuh.
Pakdhe nggak ngomong apa-apa waktu kami berdua tertegun ngeliatin report di tangan gue. Ia cuma mengangkat alis dan bahunya. "I just need half day, kalau gue lagi niat. Oh, satu lagi." ia merogoh sesuatu dari dalam tasnya.
Plok! Plok!
Mata Mas Galuh melebar melihat beberapa tumpuk report dengan coretan yang dia keluarkan dari dalam tas. "Punya siapa, Mas?"
"Dua ini punya Andri, satu punya Danang ..." Pakdhe menata report itu dengan seksama, lalu memberikan sebuah lagi ke Mas Galuh. "... satu lagi punya lu. Minta tolong anter ke Andri sama Danang ya, bilang sama mereka, jangan mepet-mepet kalau ngasih bahan reviu ke gue. Gue udah tua, udah nggak kuat lagi disuruh lembur semaleman."
Mas Galuh mengangguk pelan sambil masih nggak percaya. Merasa tersaingi speednya sama Pakdhe. Selama ini mereka berdua memang 11-12, meski Pakdhe lebih jago, tapi speed Mas Galuh lebih cepet. Makanya dia nggak nyangka kalau kecepatannya akhirnya bisa tersaingi sama partner sinting satu itu.
"Tasha disini dulu boleh, Gal? Gue mau ngobrol sesuatu sama dia." suara Pakdhe mencegat gue yang bersiap beranjak dari tempat duduk, ngikut Mas Galuh yang udah berdiri dari kursinya. "Nggak urgent kan? Kalian masih punya beberapa hari buat benerin itu, nggak besok banget kudu rilis."
Mas Galuh ngeliatin gue sebentar, lalu mengangkat tumpukan kertas di meja Pakdhe sendirian menuju pintu keluar. "Nggak kok. Silakan."
Gue bertanya-tanya sampai akhirnya pintu ditutup dari depan. Aneh banget. Tumben banget Pakdhe siang-siang mau ngajak ngobrol gue di jam kerja. Biasanya, ngobrol santai sama dia tuh udah susah banget. Kayak nyari jadwal presiden.
Dan kali ini dia yang mau ngajak gue ngobrol. Kan gue jadi deg-degan. Apa kemarin gue bikin salah? Kayaknya kesalahan gue di bulan ini cuma seputar gue telat ngerjain training kantor aja. Nggak yang parah-parah amat.
Pakdhe belum mulai ngomong. Dia cuma ngeliatin gue dengan senyuman tipisnya. Mukanya santai, nggak tegang kayak kalau dia mau ngomelin gue. Tapi makin santai muka Pakdhe, makin takutlah gue. Karena gue jadi makin nggak bisa nebak dia sebenernya mau ngapain. Bisa aja dia tiba-tiba ngeluarin celurit dari kolong meja, atau dia ngumpetin AK-47 di tasnya. Mana gue tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tasha! (A Sequel of Pakdhe!)
RomanceWelcome again sama gue dan bos gue, Jatmiko Nasution, alias Mas Tion, alias Pakdhe. Om-om yang biarpun cakep nggak ketulungan, tapi sayang nggak waras-waras banget. Dua tahun berlalu dan gue heran, gue masih betah kerja sama dia dengan segala tingka...