54 - Nembak - 2

2.2K 404 189
                                    

Now playing: New West - Those Eyes

***

Ada beberapa saat hening di antara kami berdua. Hening. Bener-bener hening. Sama kayak dua tahun lalu, cuma ada suara mobil sesekali yang lalu lalang mulai masuk ke parkiran mobil. Selain itu, sama sekali nggak ada suara yang bisa kami denger lagi, bahkan otak gue pun terlalu hening saat itu. Saking tegangnya menunggu reaksi Pakdhe.

Pakdhe berhenti mengisap rokok di tangannya. Ia membeku. Matanya nggak berpindah, ngeliatin gue dengan tatapan kaget dan nggak nyangka. Ekspresi kaget Pakdhe dengan alis tebalnya yang terangkat dan bibirnya yang separuh terbuka kayaknya lama-lama bikin gue candu, soalnya dia kelihatan lucu kalau lagi begitu. Wibawa yang biasa kelihatan di muka sangarnya langsung hilang seketika.

Tapi emang kayaknya Pakdhe nggak nyangka hari ini bakal gue tembak lagi. Kalau gitu, mungkin gue sukses bikin orangtua ini jantungan dikit.

"Sha ..." akhirnya ia bersuara lirih. Saking pelannya, jadi mirip bisikan. "... ini ... lu nembak gue ... lagi?"

Gue mengangguk cepat.

"Lu inget kan dua tahun lalu apa alesan gue?"

Gue mulai deg-degan. Tapi kali ini, gue nggak mau mundur.

"Makanya saya tanya lagi ke Mas sekarang. Apa alasan itu masih ada? Mas masih belum bisa terima saya?"

Pakdhe nggak menjawab, ia mengalihkan sebentar pandangannya ke arah mobil Hyundai Ioniq 5 yang terlihat memasuki parkiran, mobil incarannya yang dia pernah ceritain waktu kita teleponan. Ia mengisap rokoknya sekali lagi, kali ini perlahan-lahan, entah apa yang dia pikirin. Yang jelas, dia agak lama nggak berani membalas mata gue.

Hati gue rasanya udah kacau melihat Pakdhe bungkam. Memang sih, segala skenario terburuk udah sempet gue pikirin di dalem kepala. Gue juga udah berkali-kali meyakinkan diri sendiri, ini cuma salah satu fase di hidup aja. Kalaupun ditolak lagi, ya kayak ditolak dunia kerja aja. Semua harus tetep berjalan. Cari lagi, yang lebih bisa terima gue tanpa syarat.

Tapi kenyataannya, gue kayaknya nggak bisa sekuat itu tanpa nangis.

Pakdhe kayaknya udah hafal kebiasaan gue yang cengeng. Ia menoleh sebentar, dan sekilas matanya kelihatan khawatir melihat airmata yang mulai menggenang di mata gue. Tapi pria itu langsung mengalihkan lagi tatapannya ke arah lain, seolah-olah nggak berani ngeliat gue.

"Hampir tiap malam gue pikirin soal ini." gumamnya setelah beberapa saat.

"Soal apa?" gue berusaha setengah mati menahan suara yang mulai bergetar.

"Banyak hal." ia mematikan rokoknya di atas tempat sampah, lalu membuangnya. "Soal gue, trauma, masa lalu, masa depan gue ... dan lu."

"Jadi Mas masih trauma?"

Pakdhe menoleh, memastikan gue nggak nangis histeris, lalu menggeleng pelan.

"Udah enggak. Udah beberapa waktu, nggak. Thanks to you."

Gue seneng, tapi sekaligus kecewa dalam hati. "Kalau gitu, kenapa Mas diem aja! Kan dulu Mas janji, kalau Mas bisa sembuh duluan daripada saya ketemu orang lain, kita bisa lanjut! Mas sebenernya diem aja karena nggak mau sama saya, kan?!"

Akhirnya seperti dua tahun lalu, tangis gue pecah seketika. Pakdhe diem aja ngeliat gue nangis, meskipun matanya kelihatan sangat merasa bersalah. Tapi dia bergeming. Membiarkan gue meluapkan tangisan dengan sedikit meraung-raung, di tempat yang sama kayak dua tahun lalu.

Bener. Gue nggak siap. Gue sama sekali nggak siap buat ditolak Pakdhe lagi.

Lebih tepatnya, gue nggak siap kalau disuruh harus lupain perasaan gue ke dia. Pakdhe udah bikin rasa sayang gue terlalu dalam sama dia. Cuma dia yang selalu ada di doa gue, yang selalu gue tunggu-tunggu kehadirannya di mimpi. Cuma dia juga yang sanggup bikin gue begadang cuma demi dengerin suaranya aja, yang kadang ngantuk-ngantuk juga gue bela-belain nemenin dia. Sampai gue nggak mau kalau teleponan kita sampai berhenti, sampai kadang gue sengaja cari-cari topik supaya dia nggak bosen sama gue.

Tasha! (A Sequel of Pakdhe!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang