Gue emang udah biasa ditelepon Pakdhe akhir-akhir ini, tapi gue merasa telepon mendadaknya waktu Sabtu sore itu agak mencurigakan.
"Bisa ke tempat gue nggak?"
Tangan gue yang lagi nyendok seblak Rafael hasil gofud-an langsung berhenti. "Sorry? Gimana, Mas?"
"Apartemen gue." ulangnya. "Kesini ya."
Gue bukan nggak seneng, tapi beberapa tahun gue kerja sama ini bapak-bapak, dia nggak pernah nyuruh gue mendadak nyamperin dia. Apalagi nyuruh aja gitu, tanpa dia bilang keperluannya apaan. Lagian emang aneh nggak sih, sedeket apapun lu sama bos lu, tetep mencurigakan kalau lu tiba-tiba diminta ke tempat tinggalnya. Emangnya gue cewek panggilan?
"Ada apa Mas? Tumben mendadak gitu." tanya gue sambil lanjut menyuap seblak.
Hening, nggak ada jawaban.
"Mas?" gue mulai panik. "Mas Tion? Mas nggak apa-apa kan?"
Masih nggak ada jawaban. Nggak ada suara apa-apa.
Oke. Ini nggak beres.
"Oke oke, saya kesana."
Gue langsung menutup telepon dan bangkit ngambil jaket. Secepat kilat gue pesen taksi online dengan kepala yang mulai pusing karena takut setengah mati Pakdhe kenapa-napa. Saking takutnya, airmata gue udah mulai keluar di ujung pelupuk mata. Overthinking banget bayangin Pakdhe yang bisa aja kenapa-napa karena udah tua.
Ya Tuhan! Kenapa lagi sih bapak satu itu! Kenapa hobi banget bikin gue panik di hari-hari tenang gini!
***
Pakdhe masih bukain pintu waktu gue dateng lima belas menit kemudian, meskipun dia langsung berbalik dan jalan ke ruang tengah begitu buka pintu. Biasanya dia bakal nyengir kuda dulu kalau gue dateng, karena terakhir gue dateng emang dia lagi ada maunya buat ngabisin rambutan.
Gue masuk ke unitnya dengan ragu-ragu. Sebenernya dari belakang, dia kelihatan sehat-sehat aja. Nggak ada luka tusukan, atau gimana-gimana, karena gue sempet mikir apakah dia dirampok. Cuma ... emang dia keliatan rada sempoyongan jalannya, sampai dia beberapa kali berpegangan ke tembok. Pria itu terlihat langsung duduk bersandar di sofa ruang tengah, dengan meja ruang tengah yang nggak ada apa-apa di atasnya. Cuma ada sebotol air mineral dingin satu setengah liter yang tinggal separoh.
Mata pria itu cuma melirik waktu gue mendekat perlahan dan duduk di sofa sebelahnya. Gue langsung menunduk tengsin sambil melihat lagi setelan gue.
"So-sorry. Tadi panik, lupa ganti baju."
Sebagai informasi, gue ke tempat bos gue cuma pakai kaos dan celana kolor putih motif pisang, dibalut jaket oversize warna pink, dengan rambut yang masih dicepol karena gue habis keramas. Mungkin kedengerannya nggak masuk akal, tapi gue beneran lupa segalanya habis nutup telepon tadi. Bahkan gue kesini cuma pakai sendal jepit warung. Seblak favorit gue juga akhirnya gue tinggal gitu aja di meja kamar kosan tanpa sempet gue taruh kulkas.
"Pisangnya pisang ambon atau raja?"
"Hah?"
Gue mendongak. Sebenernya gue nggak terlalu kaget sama pertanyaan Pakdhe barusan, karena lu semua juga tahu kalau bos gue satu itu emang suka cosplay jadi pecandu sabu. Pertanyaannya emang suka nggak masuk akal. Cuma gue jadi panik lagi begitu ngeliat muka Pakdhe.
"Mas! Mas kenapa?!"
Pria itu nggak menjawab, dia diem aja sambil menatap gue dengan tatapan sayu. Lu jangan bayangin sayu yang romantis, itu dia lebih ke sayu kayak beneran habis make sabu. Mukanya merah padam sampai leher, hampir sama merahnya kayak kaos marun yang dia pakai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tasha! (A Sequel of Pakdhe!)
RomantizmWelcome again sama gue dan bos gue, Jatmiko Nasution, alias Mas Tion, alias Pakdhe. Om-om yang biarpun cakep nggak ketulungan, tapi sayang nggak waras-waras banget. Dua tahun berlalu dan gue heran, gue masih betah kerja sama dia dengan segala tingka...