"Lapo, cok?"
Gue nggak menjawab sapaan Eve. Gadis itu mengerutkan alis ketika gue berjalan menuju kursi gue dengan langkah kesal dan mata sembab. Gue membanting pantat di kursi tanpa sepatah kata. Sedetik kemudian gue udah terisak-isak dengan muka yang terbenam dalam lipatan tangan di atas meja.
"Lho, asu kon. Wong ditanyak baik-baik malah nangis." Eve menggumam. "Lapo nangis?"
"Biasa." sahut gue dengan suara serak disela isakan tangis. Masih dengan muka terbenam di tangan.
"Biasa opo? Si Om?"
Gue mengangguk.
Arek Suroboyo itu mendecak. "Halah, rek. Lagu lama kaset baru. Mesti sebulan onok dua kali nangis gara-gara si Om, tapi habis iku paling juga mbalik lagi. Mesam-mesem lagi. Tunggu ae."
"Tapi dia nyebelin, Eve!" gue mengangkat kepala tiba-tiba, sampai si Eve kaget. "Masa dia tadi ngomel-ngomel nggak jelas ke gue sama Mas Andri, katanya kok bisa kerjaan garbage kayak gitu sampai ke dia! Padahal itu kan gue kerjain sampe lembur, Eve! Lu kan tau gue ngerjain itu lemburnya bareng sama lu! Abis itu dia ngatain gue nggak teliti, suka miss di bagian-bagian sepele di depan Mas Andri, kan gue kesel!"
"Lho, tapi memang iya kan?" Eve mengerutkan alis. "Kan kon ancen longor. Suka nggak teliti. Suka nggak dicek lagi."
"Hah? Kok lu gitu sih?!"
Gadis itu menghela nafas. "Aku iki jujur, Sha! Kon haruse introspeksi. Jangan mentang-mentang kon kenal Pakdhe, terus kon bisa kasih kerjaan sembarangan! Gitu-gitu Pakdhe kan partner, kalau kon tau Mas Andri gak bisa reviu detail, ya kon kerjainnya hati-hati!"
Gue cemberut, lalu memalingkan muka dari Eve. Lanjut nangis lagi.
Eve cuma diem aja. Dia nggak berusaha membela diri, nggak usaha juga buat tenangin gue.
Nggak bohong, gue nggak nyangka tanggapannya tadi bakal sekasar itu. Gue tahu Eve orangnya blak-blakan, tapi di saat begini, sebel banget gue. Bayangin aja, lu curhat sama sahabat lu tapi tanggapan dia malah bikin makin bete! Gimana sih Eve, bukannya ngebela gue malah ikut nyalahin gue!Apa jangan-jangan sebenernya dia sekutu Pakdhe juga? Bisa jadi.
Tangisan gue agak berhenti waktu samar-samar terdengar langkah kaki cepat ke arah meja kami. Gue nggak bisa liat siapa yang datang karena muka gue lagi di arah berlawanan, tapi gue tahu langkah itu berhenti di samping Eve.
"Mas."
"Hei."
Jantung gue ambrol mendengar suara berat pemilik langkah itu.
Pakdhe nyusul kemari?
Makin-makin deh gue buang muka. Panik dikit karena muka gue jelas lagi ancur berkeping-keping. Mana airmata gue masih luber satu muka, kan. Masih syukur gue sempet ngelap ingus dulu sebelum kesini.
"Perhitungan goodwill PT Aneka udah, Eve?"
"Oh, masih dicek, Mas. Kemarin klien ada kasih draft baru soalnya. Sore ini saya kasih ke Mas."
Pakdhe terdengar mendengus sedikit, "Kasih tahu kliennya, maksimal perubahan itu tiga kali aja. Lebih dari itu, berarti dia nggak kompeten buat ngitung. Suruh konsultan aja yang ngitung."
"Oke oke, Mas."
Hening sebentar. Cuma ada suara ketikan Eve di laptopnya. Gue juga nggak berani bersuara, masih buang muka. Meskipun gue yakin Pakdhe ngeuh kalau gue bete sama dia, karena gue nggak buka laptop sama sekali di meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tasha! (A Sequel of Pakdhe!)
RomantizmWelcome again sama gue dan bos gue, Jatmiko Nasution, alias Mas Tion, alias Pakdhe. Om-om yang biarpun cakep nggak ketulungan, tapi sayang nggak waras-waras banget. Dua tahun berlalu dan gue heran, gue masih betah kerja sama dia dengan segala tingka...