Author's Note:
Halooo jumpa lagi hehehe.
Beberapa hari ini author lagi fokus RL dulu. Dan kemarin juga lagi writer's block, suka begitu hehehe.
Anyway, enjoy ya!
***
Tiba-tiba out of nowhere, pintu besar di tengah ruangan mendadak terbuka perlahan dengan suara paduan suara pria yang mengalun dari dalam sana.
Is this a real life?
Is this a fantasy?Suasana seketika langsung riuh rendah dengan tepukan tangan semua orang. Gue, Aldo, dan Eve sama-sama menyipitkan mata ketika orang-orang di sekeliling kami langsung berhamburan masuk ke dalam ruangan besar itu, termasuk Mas Danang dan Mas Andri yang langsung ikut berebut masuk ke dalam ruangan. Sementara kami bertiga masih plonga-plongo sambil terdesak oleh gerombolan orang-orang, jadi mau nggak mau gue juga ikut kedorong sampai masuk ke dalam ruangan.
Sedetik kemudian muncul suara piano yang makin membuat orang-orang histeris, seiring dengan lampu kekuningan yang mulai dinyalakan bertahap di dalam ruangan. Gue mulai bisa ngeliat apa yang ada di ruangan itu. Ruangan itu ternyata nggak kalah besar dibanding ruangan yang di luar, isinya kursi-kursi berlapis kain merah yang disusun rapi - mungkin jumlahnya seribuan karena sebanyak itu, dan ada sebuah panggung besar di ujung barisan kursi.
Gue ngeh kalau di ujung sana ada band yang tampil di atas panggung, tapi nggak jelas karena jaraknya sejauh itu dari pintu masuk.
Ngeliat ada potensi konser, Aldo dan Eve juga langsung fomo dan lari mendekati panggung, bersamaan dengan karyawan-karyawan lainnya. Jelas aja, karena yang dimainkan lagu Bohemian Rhapsody, lagu sejuta umat yang tujuannya tentu saja buat jingkrak-jingkrak.
Sementara gue kan mageran ya, jadi gue males ikutan lari ke depan panggung. Gue akhirnya cuma cari tempat duduk di daerah tengah, tentu saja yang pinggiran biar kalo kebelet berak gampang. Maklum jompo.
Lagi asik ngeliat orang dadah-dadah menikmati opening lagu Bohemian Rhapsody, gue agak teralih pas bagian solo vocal lagu itu. Bukan, bukan karena kuncinya direndahin, atau karena suara penyanyinya jauh lebih serak daripada Freddie Mercury. Bukan juga karena saking bagusnya, penonton sampai histeris dan tepuk tangan.
Gue kaget lebih karena suaranya nggak asing. Gue nggak tahu siapa yang nyanyi karena jaraknya jauh, tapi entah kenapa suaranya familiar di telinga gue.
Mama, just killed a man.
Put a gun against his head, pulled my trigger, now he's dead.
Mama, life had just begun.
But now I've gone and thrown it all away.Gue menghela nafas. Nggak sih. Itu nggak mungkin dia. Masa dia tiba-tiba tampil, dia kan bukan orang yang suka nampil gitu.
Otak gue masih denial saat tiba-tiba Eve lari menghampiri gue, tergopoh-gopoh keluar dari kerumunan penonton di depan panggung. Mukanya sampe merah karena nggak pernah olahraga tapi maksain buat lari.
"Cuk! Pakdhe, cuk!"
"Hah?" maklum, budek. "Ariana Grande?"
Eve kelihatan jengkel, ia menunduk dan berteriak persis di kuping gue.
"PAKDHE, CUK! IKU MAS TION! JATMIKO NASUTION!"
Mata gue langsung membulat. "HAH?! Yang nyanyi? Ini suara Mas Tion maksud lu?!"
Eve nggak menjawab, dia menarik tangan gue dengan bersemangat. Mau nggak mau, gue jadi ikutan lari sama dia mendekat ke arah panggung, ikut berjejalan di antara orang-orang yang sedang sing along. Kegiatan yang kayaknya seumur hidup nggak bakalan gue lakuin kalo nggak ditarik si Eve ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tasha! (A Sequel of Pakdhe!)
Roman d'amourWelcome again sama gue dan bos gue, Jatmiko Nasution, alias Mas Tion, alias Pakdhe. Om-om yang biarpun cakep nggak ketulungan, tapi sayang nggak waras-waras banget. Dua tahun berlalu dan gue heran, gue masih betah kerja sama dia dengan segala tingka...