42-Lembaran Baru

982 170 55
                                    

Pernikahan Airin dan Janu digelar dalam wedding venue di sebuah hotel ternama. Pada akhirnya, mereka memutuskan untuk menjalani acara akad dan resepsi di hari yang sama. Kini ruangan yang didekor dengan mewah itu telah dihadiri oleh sanak saudara dan para tamu undangan. Sebentar lagi, sang mempelai akan mengucap janji di depan penghulu, mengikat kekasihnya dalam hubungan yang sah.

Diiringi musik syahdu, mempelai wanita mulai memasuki ruangan didampingi oleh para bridesmaid. Airin terlihat begitu anggun dengan gaun dan aksesori adat Betawi yang dikenakannya. Ia sesekali menatap sisi kanan kiri yang dipenuhi oleh para tamu undangan. Sampai, netranya tertuju pada Nanda yang tersenyum cerah di balik wajah pucatnya.

Rasa haru dalam dada Airin seketika membuncah. Senyum yang anaknya beri terlihat begitu tulus dan Airin pun membalasnya tak kalah hangat. Tatapan anak itu seolah meyakinkan bahwa semua akan berjalan lancar tanpa halangan apa pun. Airin pun bisa melihat Nanda menggumamkan kata pujian padanya, juga memberikan love sign yang seketika membuat Airin tersenyum lebih lebar. Rasa gugup dalam hatinya pun mulai memudar.

Kini kedua mempelai telah berada di meja akad, duduk berdampingan dan tampak begitu serasi. Penghulu dan wali nikah pun telah berada di sana, siap menjadi perantara. Pembawa acara memandu acara berikutnya. Mulai dari pembacaan ayat suci Al-Qur'an, khotbah nikah oleh penghulu, hingga tiba pada acara ijab kabul.

Haidar yang semula berada di sisi berlainan dengan Nanda, kini berpindah tempat. Ia mendekati Nanda yang duduk di deret bangku paling depan dan menempati kursi kosong di sebelahnya.

"Lo masih nggak papa, kan?" Haidar mengeluarkan tisu dari saku jasnya, lantas mengelap pelipis dan kening Nanda yang dibaluri keringat dingin. Ia mulai khawatir sebab pagi tadi sebelum berangkat, Nanda sempat muntah-muntah. Saat itu Haidar mengadu pada Hasbi apa yang harus ia lakukan. Tapi akhirnya, Nanda tetap diizinkan datang meski sampai sekarang harus duduk di kursi rodanya.

Haidar membenarkan letak penutup kepala Nanda, lantas menepuk bahu lelaki itu. "Nanda? Jawab gue, ih."

Nanda mengerjap. Ia terlalu fokus memandang ke arah meja akad, sampai tak sadar apa yang tengah Haidar lakukan. Ia sungguh tak ingin melewatkan sedetik pun momen berharga di depan matanya. "Bentar dulu ya, kita dengerin dulu itu udah mau ijab kabul. Benerin duduk lo!" Nanda lekas menghadapkan tubuh Haidar ke arah meja akad.

Nanda merasa sangat gugup. Jantungnya terus berdebar sampai menciptakan rasa tak nyaman pada perut. "Lo bisa pegangin tangan gue nggak? Gue beneran deg-degan banget," ucap Nanda seraya menjatuhkan satu tangannya ke pangkuan Haidar. Ia sungguh tak dapat merasa tenang.

Haidar lekas menggenggam tangan Nanda yang telah basah. "Rileks aja, Ayah udah latihan pagi siang malem, kok. Pasti bisa lancar."

Nanda mengangguk, menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Dalam hati, ia tak henti berdoa agar semua bisa diberikan kelancaran.

"Saudara Januarta Abumi Baswara bin Hardian Baswara, saya nikahkan dan kawinkan anak perempuan saya Airin Anindya Sekar Ayu binti Hasbi Wicaksono pada engkau, dengan mas kawin berupa uang tunai sebesar 1.806 USD, 100 gram logam mulia, dan seperangkat alat sholat dibayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya saudari Airin Anindya Sekar Ayu binti Hasbi Wicaksono dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Tegas dan lugas, dalam sekali tarikan napas, Janu mengucapkan kalimat kabul.

"Bagaimana saksi, sah?"

"Sahhh!"

Beriringan dengan kata 'sah' yang mengantarkan mempelai pada hubungan suami-istri, ucapan hamdallah dan surah Al-Fatihah pun turut dilantunkan. Kemudian Airin mencium punggung tangan seorang yang kini telah sah menjadi suaminya. Pun Janu yang mengecup lembut kening perempuan yang resmi menjadi istrinya.

Ananda✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang