04-Salah Langkah

2.1K 209 34
                                    

Sepulang sekolah hingga jam menunjukkan pukul 8 malam, Nanda masih bergelung selimut di kamarnya. Ia tidak tidur, tapi tidak juga melakukan apa pun karena tubuhnya lemas. Ia hanya tiduran, memperhatikan kucing-kucingnya bermain dan sesekali mendusel manja padanya.

"Dudung, jangan berantakin itu hey!" Nanda berucap dengan suara paraunya, memperingatkan Dudung untuk tidak mengacak barang-barang di meja belajar. Akhir-akhir ini, tempat itu seperti menjadi spot nyaman untuk Dudung.

"Astaga." Nanda hanya mengelus dada saat Dudung malah semakin menjadi. Ia ingin menghentikannya, tapi lagi-lagi malas bergerak. "Papa marah loh ya kalo kamu nakal. Itu temenin Dadang ngegalau aja deh!" Nanda beralih melempar tatapan pada Dadang yang diam di depan jendela seolah sedang galau.

Tak lama kemudian, Nanda mendengar seseorang mengetuk pintu, disusul figur sang mama yang masuk ke dalam. Airin tampak baru saja selesai bersih-bersih. Wanita itu memandangi kamar Nanda, berdecak pelan saat menyaksikan kekacauan yang dibuat oleh kucingnya.

"Kalo main sama kucing jangan di kamar lah, Nda. Jadi berantakan gini kan, bulunya juga nempel di mana-mana." Airin mengambil kandang kucing Nanda, dan menyuruh kucing-kucing itu untuk masuk. Namun tak seperti Nanda yang bisa langsung membuat mereka masuk, Airin malah dicueki.

"Harusnya Mama panggil nama mereka dulu, baru mereka mau masuk kandang," ucap Nanda.

"Nggak mau, namanya jelek." Airin berkata jujur. Nama yang disematkan oleh Nanda untuk kucing-kucingnya sungguh sangat jelek. Padahal banyak nama lain yang lebih imut. Menyerah, Airin akhirnya menggendong paksa mereka dan memasukkannya ke kandang.

Nanda hanya tertawa, padahal itu nama paling comel baginya. "Mama baru pulang, ya?"

"Huum. Kamu belum makan malem, Nda? Masih utuh makanan di dapur. Atau masih sakit?" Airin mendekati Nanda, duduk di tepi ranjang. Ia mengecek suhu tubuh Nanda, mendapati jika masih terasa panas. "Obatnya diminum nggak, sih?"

"Belum, Ma."

Airin berdecak. "Jangan dibiasain kayak gitu, ah. Walaupun cuma demam, nggak boleh disepelekan. Atau mau periksa ke dokter aja, yuk?"

"Nggak mau. Orang udah nggak apa-apa. Nanti Nanda minum obatnya, bentar lagi."

Nanda mengubah posisi menjadi duduk, memandang wajah ibunya dengan sedikit kesenduan. "Mama, Nanda boleh tanya sesuatu?"

"Tanya apa?"

"Mama nggak nyesel kan karena bawa Nanda ke sini?"

Airin cukup terkejut mendengar pertanyaan Nanda. Entah apa yang sedang mengganggu anak itu hingga berucap seperti tadi. "Enggak. Kenapa harus nyesel?"

"Barangkali Nanda halangin Mama buat lebih bebas. Mama juga jadi kerepotan karena harus mikirin Nanda di sini. Nanda juga ngerasa nggak bisa bantu Mama apa-apa, bisanya cuma berantakin rumah doang sama makan tidur."

"Nda, kamu itu anak Mama, tanggung jawab Mama. Toh Mama ngajak kamu ke sini bukan buat bantuin Mama ngurus rumah. Mama cuma pengin buktiin kalo Mama juga bisa ngerawat kamu. Mama nggak suka sama mereka yang ngerendahin kamu dan Mama."

Nanda paham betul siapa yang Airin maksud. Pasti ada hubungannya dengan pertengkaran dengan Oma hari lalu. Nanda jadi tahu kalau alasan utama mamanya bukanlah karena ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan Nanda. Tak heran jika Airin jarang sekali meluangkan waktu. Tapi itu tidaklah apa, asal Nanda bisa memandang wajah mamanya setiap hari.

"Makasih ya, Ma. Nanda seneng bisa tinggal sama Mama kayak yang dulu selalu Nanda pengin. Tapi kalau boleh minta, boleh nggak Mama luangin sedikit waktu buat Nanda? Nanda juga pengin habisin waktu sama Mama. Seringnya pasti Mama berangkat pagi banget, dan pulangnya malem banget. Kita jadi jarang ketemu."

Ananda✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang