21-Sedikit Rasa Senang

1.5K 196 36
                                    

Airin bergerak menuju ruang tengah saat tak menemukan keberadaan Nanda di kamar. Ia menghela napas saat mendapati anaknya sedang tiduran di sofa, bersama kedua kucing yang juga bermalas-malasan di atas perut Nanda. Suara televisi terdengar sangat keras sehingga Airin langsung meraih remote dan mengecilkan volume.

"Jangan keras-keras loh, Nda. Sampai kedengeran banget di atas, kasihan telinga kamu."

"Nggak keras kok."

Airin tak lagi menimpali. Ia membawa laptop di tangannya menuju meja yang ada di ruangan itu, lantas melanjutkan pekerjaan. Sesekali ia melirik Nanda dan mendapati putranya itu sedang terkantuk-kantuk. Tapi, sama sekali tak mengusaikan usapan tangannya pada bulu kucing-kucingnya. Diam-diam, sudut bibir Airin terangkat tipis.

"Maaf, Bu, ada Pak Hasbi sama Bu Risma."

Suara Gina menyita perhatian Airin. Ia mengangguk, lantas beranjak untuk menemui kedua orang tuanya. Mereka datang membawa beberapa kantung kresek yang entah apa isinya. Airin mendekati ibunya yang berjalan menuju area dapur.

"Nanda di mana, Rin? Kemarin kemonya gimana, lancar?" tanya Hasbi selagi berjalan bersisian dengan putrinya.

"Sejauh ini lancar, Yah. Cuma emang efeknya masih belum ilang banget, tadi pagi masih muntah sama ngeluh pegel-pegel. Tapi nggak separah kemarin-kemarin. Mood-nya dia juga jadi berantakan. Itu anaknya sekarang lagi di depan TV."

"Ayah samperin dulu."

Airin mengangguk. Ia kemudian mengernyit saat ibunya mengeluarkan beberapa kemasan barang yang cukup asing, menjajarkannya di meja bar. "Itu apa, Bu?"

"Ibu belikan obat herbal buat Nanda, ini katanya dikirim langsung dari Tiongkok. Kamu kasihkan ini tiap pagi sama malem, kata orangnya ampuh buat kanker."

Airin tidak begitu yakin. Ia takut jika ibunya hanya mengikuti kata orang saja, tanpa mengecek kualitas sebenarnya. "Yakin itu produk asli dan nggak bahaya? Aku nggak mau kasih ke Nanda kalau nggak tau Ibu belinya dari mana, sama orang siapa."

"Lha, kamu ngeraguin Ibu? Ini Ibu beli ke orang terpercaya, dia juga punya klinik tradisional. Udah banyak orang yang sembuh pas berobat sama dia. Pikiranmu itu lho emang nggak pernah beres kalo ke Ibu."

"Ya bukannya begitu, aku cuma waspada aja."

"Udah, kamu percaya aja sama Ibu. Nggak mungkin Ibu punya niatan buruk dan sembarangan nyariin obat buat Nanda. Kamu pikir Ibu nggak pengin dia sembuh?"

Risma meminta Gina untuk menyimpan obat-obatan herbal itu. Ia kemudian menuju ke ruang tengah untuk menengok Nanda. Saat sampai, ia bisa melihat suaminya sudah duduk di sofa bersama Nanda, memangku kaki anak itu dan memijatnya. Nanda tampak sangat nyaman hingga Risma geleng-geleng kepala, teringat jika sejak dulu cucunya itu memang selalu bisa memanfaatkan opanya dalam kondisi apa pun.

"Bisa-bisanya masih mainan kucing. Sini biar Oma pindahin, kucing itu banyak virusnya. Bawa penyakit." Risma sudah hendak mengambil kucing di atas perut Nanda, tapi tidak jadi karena Nanda menghalanginya dengan berucap ketus.

"Biarin aja, Oma! Mereka bersih." Nanda mengusap kucingnya saat melihat makhluk berbulu itu seperti kaget.

"Astaga, lagi sakit begini masih mau ngeyel?"

"Orang nggak papa kok, Mama juga nggak sewot Nanda main sama kucing." Nanda memang betah membelai kedua kucingnya seperti ini. Bagi Nanda, mereka seperti teman yang selalu ada dan bisa mengenyahkan sedihnya. Setiap kali bercerita pun mereka seolah mendengarkan, tanpa membalasnya dengan kalimat menyakitkan.

Dulu, saat Hasbi membawakan mereka sebagai hadiah ulang tahun, Nanda senang tak terkira. Ia yang sering dikucilkan dalam pergaulan akhirnya menemukan teman. Meski berwujud dua ekor hewan. Bersama mereka, Nanda tidak perlu mendengar cemoohan siapa pun. Tidak ada orang tua yang mendatanginya hanya untuk melarangnya bermain dengan anak mereka. Suka duka, Nanda lewati bersama kucingnya. Maka dari itu, Nanda selalu merawat mereka dengan penuh kasih sayang.

Ananda✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang