02-Penawaran

2.4K 252 39
                                    

Haidar selalu tertarik pada segala hal tentang musik. Baginya, ia bisa melampiaskan emosi melalui rambatan nada-nada yang terlantun dari alat musik. Seperti sore ini. Lelaki itu tampak asik sendiri dengan gitar electric-nya. Suara yang ditimbulkan dari permainan gitarnya cukup membuat telinga sakit---sebab suara yang terlalu keras---, meski bagi Haidar hal itu adalah tingkat tertinggi saat ia merasa keren.

Dug dug dug

"Abang! Abang Idarrrr!!!"

Haidar terpaksa menghentikan permainannya ketika samar-samar terdengar gedoran pintu dan teriakan adiknya. Lelaki itu berdecak kesal sebelum meletakkan gitar dan membuka pintu. Ia menengok ke kanan kiri, hendak kembali menutup pintu, tetapi seperti ada yang mengganjalnya. Ketika menengok ke bawah, ia mendapati bocah berusia 6 tahunan yang mendongak padanya dengan alis menukik tajam dan tangan terlipat di bawah dada. Sangat sok keren.

"Abang ngeselin!"

"Apaan sih, Cil? Ganggu banget."

Bocah bernama Kaisar itu pelan-pelan mengubah ekspresi wajahnya yang semula seperti akan menerkam Haidar. "Ada bapak-bapak cariin Abang."

"Siapa?" Haidar mengernyit bingung. "Pak RT?"

Kaisar menggeleng. "Bukan. Cepetan ih, udah ditunggu!" Bocah itu menarik tangan sang kakak, membawanya menuruni anak tangga menuju pintu keluar. Sesampainya di teras rumah, Kaisar melepaskan tangan Haidar dan berlari kencang kembali ke dalam.

"Maaf, Mas, adiknya belum bayar. Tadi beli bakso 10 rebu."

Haidar tersenyum kikuk menghadapi seorang penjual bakso keliling di hadapannya. "Oh iya, bentar ya Pak. Saya ambil uang dulu." Haidar berjalan cepat ke dalam untuk mengambil uang. Melihat adiknya berdiri di sudut tembok sambil cekikikan, ia melempar tatapan tajam. "Kalau beli tuh ambil duit dulu, Kai! Kebiasaan, malu-maluin manusia keren ini aja."

Haidar kembali dan memberikan uang pada penjual bakso tadi. "Maaf ya, Pak. Kembaliannya ambil aja," ucap Haidar usai menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan.

"Waduh, makasih banyak, Mas. Berkah berkah." Penjual itu tersenyum senang sembari mengibas-ngibaskan selembar uang tadi ke gerobak dagangannya. Ia kemudian berlalu setelah berpamitan pada Haidar.

Usai kembali masuk ke rumah dan menutup pintu rapat-rapat, Haidar hendak kembali ke ruang musik. Namun, ia harus kembali ketar-ketir saat mendengar suara pecah belah dari arah dapur. Lelaki itu sontak berlari, entah membuat ulah apa lagi adiknya itu.

"Kaisar!" Melihat adiknya berjongkok di depan pecahan gelas, Haidar langsung mendekat.

"Abang, belingnya berdarah," ucap Kaisar sembari memungut pecahan gelas yang dilumuri cairan merah.

Haidar berdecak, ia berjongkok di hadapan Kaisar dan meminta anak itu untuk melepaskan beling tadi. "Itu kaki kamu yang berdarah, Bocillll."

Kaisar bingung. Sampai ketika ia mengamati betul-betul kakinya dan merasakan perih di sana, anak itu langsung menangis keras. "Huaaa, Abang tolong kakinya Kai berdarah."

Haidar membopong tubuh ringan Kaisar dan mendudukannya ke sofa. "Diem di sini!" Ia kemudian mengambil kotak P3K dan kembali menghampiri adiknya yang menangis semakin keras.

"Abang, ayo ke rumah sakit. Nanti Kai nggak bisa jalan. Huaaa ...."

"Lebay banget, orang cuma seuprit lukanya," gerutu Haidar selagi meneteskan obat merah pada luka di kaki adiknya. Namun karena perih, Kaisar justru berteriak, mengangkat kakinya dengan gerakan cepat hingga tak sengaja menjejak wajah Haidar. "Bangs---sayangku, adikku, nggak perlu nendang muka juga heh!" Haidar menahan diri untuk tidak mengumpat. Ia mengusap hidungnya yang pasti sudah memerah.

Ananda✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang