24-Teman Bercerita

1.1K 159 29
                                    

Nanda telah diperbolehkan pulang dari rumah sakit sejak dua hari lalu. Ia sudah merasa sehat, tapi masih tidak diperbolehkan pergi ke mana pun. Seharian, ia hanya diam di rumah yang tentu saja membuatnya merasa jenuh.

Sore hari ini, barulah ia merasa lebih bergairah karena Haidar dan Kaisar berkunjung ke rumahnya. Ia yang tadinya hanya men-scroll sosial media akhirnya bisa berinteraksi dengan orang lain.

Kini Nanda sedang sibuk menyusun puzzle besar yang Kaisar bawa ke rumahnya. Lantai di ruang tengah rumahnya telah berserakan potongan puzzle yang harus mereka susun.

"Kok lo jago, sih?" komentar Nanda pada Haidar yang sudah menyelesaikan lebih dari seperempat puzzle. Sementara ia, sedari tadi hanya mencoba menempel-nempelkannya tapi tak jua menemukan yang cocok. Lama-lama, ia pusing sendiri.

"Ginian doang mah easy buat gue. Gue udah main begini sejak umur tiga. Yang lebih gede dari ini pun pernah gue selesein sendirian," ucap Haidar berusaha menyombongkan diri.

"Nggak percaya."

"Ck, elo mah kalo yang baik-baik tentang gue kagak pernah percaya."

Nanda tertawa kecil, dipikir-pikir ada benarnya juga. Ia memang sulit percaya jika itu menyangkut kelebihan Haidar. "Ya lagian lo emang suka melebih-lebihkan."

"Halah, sirik aja lo sama gue makanya nggak mau ngakuin kehebatan gue."

"Serah lo. Udah ah, pusing gue lama-lama main ginian." Nanda melemparkan satu potong puzzle yang tak kunjung ia temukan letaknya. Kesabarannya sudah habis.

"Gampang padahal, tinggal lo lihat warnanya, terus dikira-kira mana tempat yang cocok."

"Malesss."

Nanda meliarkan pandangan, mencari keberadaan Kaisar. Dilihatnya anak itu masih setia bermain dengan kucing-kucingnya di tempat yang sedikit jauh. Nanda tersenyum, sejak ia mengatakan jika Kaisar boleh menjadi papa ke dua Dadang dan Dudung, Kaisar jadi lebih perhatian pada kedua kucingnya. Bocah itu seperti sadar akan tanggung jawabnya menjadi papa ke dua dari Dadang dan Dudung.

Nanda merebahkan tubuhnya di atas karpet dengan posisi miring. Ia mengamati puzzle yang semakin memperlihatkan bentuk beraturan karena Haidar berhasil mencocokkannya.

"Lo pasti bersyukur banget ya punya adik kayak Kai? Anaknya penyayang banget walaupun cerewetnya minta ampun."

Haidar sejenak menatap Nanda yang berbaring di depannya. Ia mengulas senyum kecil. "Bersyukur lah pasti. Nggak bakal gue sia-siain sampai kapan pun. Walaupun kadang bikin darah tinggi, tapi gue sayang banget sama dia. Kadang kalau lagi manis tuh bisa manis banget, tapi kalo lagi pahit ya bisa pahit banget juga."

"Padahal jarak umur lo sama Kai lumayan ya, tapi bisa nyambung banget. Pasti tadinya ayah sama ibu lo udah nggak nyangka bakal dapet anak lagi, eh malah dikasih Kaisar. Pasti mereka bersyukur banget, soalnya kalo lo jadi anak tunggal pasti bakal nyebelin."

Nanda tertawa usai berusaha meledek Haidar. Tapi ketika menatap Haidar yang terdiam, tawanya seketika mereda. Rasa bersalah perlahan muncul di hatinya.

"Sorry, candaan gue kelewatan ya?"

Haidar sontak menggeleng. Ia hanya sedikit terkejut dan sepintas terpikirkan dengan sebuah kenangan buruk di masa lalu. "Nggak gitu, tadi gue cuma inget sama sesuatu."

"Sesuatu apa?"

"Eum ... bukan apa-apa. Nggak enak kalo diceritain, lo pasti nggak akan kuat dengernya."

Nanda malah semakin tertarik. Ia mengubah posisi menjadi duduk, menatap Haidar lekat-lekat. "Apaan tuh? Cerita dong, gue kepo."

Haidar berdecak, harusnya ia tidak memancing Nanda dengan perkataan seperti tadi. "Nggak usah kepo, gue juga ogah kalo harus nginget-inget lagi."

Ananda✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang