28-Ucapan Buruk

1.5K 173 34
                                    

Sudah beberapa hari ini, Nanda tidak berinteraksi sedikit pun dengan Haidar dan Kaisar. Lama-lama, ia tidak tahan. Semua itu membuatnya benar-benar berpikir keras kiranya kesalahan apa yang sudah ia perbuat. Maka, sore ini ia datang ke rumah Haidar.

Nanda mengetuk pintu beberapa kali, tapi tak kunjung dibuka. Sampai, suara kunci pintu terdengar dan Nanda mengulas sedikit senyum. Ia kira Haidar yang membuka pintu, tetapi justru asisten rumah tangganya. Gurat senang di wajah Nanda seketika luntur.

"Gimana, Mas Nanda?" tanya wanita paruh baya dengan raut wajahnya yang seperti menyiratkan kegugupan.

"Bi, Haidar di rumah?"

"Ohh, i-itu ... Bang Idar lagi main, belum pulang. Ada apa, nanti biar Bibi sampein ke Bang Idar-nya."

"Nggak ada apa-apa sih, Bi. Kalo Kaisar ada di rumah nggak?" tanya Nanda sembari mencoba melongok ke dalam, tapi wanita di hadapannya itu seperti menghalangi dirinya.

"Adek lagi bobo, Mas. Nanti aja ya kalau mau ajak main."

"Ohh ... ya udah. Makasih, Bi." Nanda akhirnya berlalu sebab merasa kehadirannya tidak diharapkan. Ia berjalan dengan kepala tertunduk, sesekali menoleh lagi ke belakang. Barangkali muncul seorang yang ia harapkan, tetapi nyatanya tak demikian.

Nanda menghela napas keras. Ternyata rasanya sesepi dan sesedih ini ketika orang yang biasa mengisi hari-harinya menjauh begitu saja.

Nanda sampai di halaman rumah dan mendapati mamanya baru saja memarkirkan mobil di garasi. Ia lekas menghampiri wanita itu untuk masuk ke rumah bersama-sama.

"Mama!" Nanda menyalami mamanya, mengulas sedikit senyum. Ia juga membawakan beberapa barang belanjaan meski Airin berniat memindahkannya sendiri.

"Habis dari mana kamu, Nda?" tanya Airin selagi mengikuti langkah Nanda menuju dapur. Ia juga membawa beberapa kantung berisi buah-buahan untuk dipindahkan ke kulkas.

"Dari rumahnya Idar. Ma, Nanda mau tanya hal serius ke Mama deh," ucap Nanda usai meletakkan barang belanjaan mamanya di meja dapur.

"Nanya apa?" Airin duduk di kursi depan meja bar, menarik kursi lain agar Nanda duduk di hadapannya. Ia sudah siap mendengarkan anak itu.

"Mama ngerasa kalo akhir-akhir ini keluarga Om Janu jadi beda nggak? Haidar sama Kaisar nggak pernah main lagi ke sini, tepatnya habis Mama keluar sama Om Janu malem itu. Mama ... nolak lamaran Om Janu, ya?"

Airin terbelalak mendengar ucapan frontal Nanda. Ia bahkan tidak pernah bercerita jika Janu melamarnya. Entah dari mana anaknya itu tahu tentang hal ini. "K-kamu tau dari mana?"

"Jadi beneran? Mama tolak? Makanya Idar sama Kai nggak pernah main lagi ke sini. Mama musuhan ya sama Om Janu?"

Airin kali ini mengernyit heran. "Kok mikirnya gitu, sih? Mama baik-baik aja sama Om Janu. Idar sama Kai nggak main mungkin karena ada acara lain, Nda."

"Tapi ... nggak kayak biasanya. Mama emang nggak ngerasa aneh? Om Janu nggak aneh juga, kah?"

Airin menggeleng. "Om Janu biasa aja, masih sering kasih kabar sama Mama," jawabnya dengan tenang. Ia memang tak merasakan perubahan signifikan pada sikap Janu. Pria itu masih selalu menghubunginya meski jarang bertatap muka. Ia memahami kesibukan Janu akhir-akhir ini.

"Menurut Nanda aneh banget soalnya. Mereka kayak lagi menjauh. Nanda takut ada buat salah, makanya Nanda tanya barangkali Mama nolak lamarannya Om Janu."

"Nggak ada apa-apa, kok. Kalau mau main sama Idar atau Kai, ditunggu dulu aja waktu luang mereka. Barangkali belakangan ini lagi capek sama sekolah dan les."

Ananda✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang