08-Suasana Baru

1.4K 205 31
                                    

Pulang sekolah, Haidar dan Valda langsung bergegas menuju kelas Nanda. Kini mereka berdiri di depan pintu sambil sesekali melongok ke dalam. Barulah ketika kelas Nanda dibubarkan dan lelaki itu keluar, mereka menahannya untuk membicarakan sesuatu.

"Kenapa?" tanya Nanda dengan kening berkerut.

"Gini, Cil---" Haidar menjeda ucapannya saat mendapat cubitan dari Valda. Ia menoleh pada gadis itu, menyadari isyarat Valda yang seperti baru saja mengoreksi perkataannya. "Gini, Nan ... kan kita dari ekskul fotografi mau ikut lomba film pendek. Tapi kita kurang talent cowok buat jadi pemerannya, lo ikut ya?"

Nanda langsung membulatkan mata, ia menggeleng keras untuk menolak. "Nggak mau! Gue nggak bisa akting."

"Please, cuma lo harapan kita satu-satunya."

Valda mengangguk, menyetujui ucapan Haidar. "Iya, Nan. Lo juga yang paling masuk kualifikasi buat jadi tokohnya, mau ya?"

"Nggak mau, anjir. Gue nggak bisa, pokoknya gue nggak mau!" Nanda melewati dua kakak kelasnya itu dan berjalan cepat menuju parkiran. Lagipula, sejak cek-cok dengan Haidar berhari-hari lalu, ia sudah jarang aktif di kegiatan ekskul. Tak ia sangka dirinya akan kembali dilibatkan.

Haidar dan Valda mengikuti langkah Nanda menyusuri koridor kelas. Mereka sebenarnya sudah menduga jika tak akan semudah itu membujuk Nanda.

"Ayolah, Nan, bakal seru kok. Gue jamin lo bakal menikmati prosesnya. Ntar kalo menang kita bakal dapet 15 juta, lumayan buat beli cilok sampe mabok."

Nanda menghentikan langkahnya. Ia menatap Haidar dengan raut wajah datar. "Buat lo aja ciloknya, gue nggak minat." Usai mengucapkan itu, Nanda berlari meninggalkan kedua kakak kelasnya itu.

"Kan. Udah kutebak dia nggak bakal mau." Valda berkacak pinggang sembari mengamati Nanda yang sudah cukup jauh. "Cari yang lain aja, Yang."

"Udah nggak ada orang, ih. Tenang aja, aku bakal ngelakuin bermacam cara buat bujuk Nanda. Nanti dia pasti bakal mau." Haidar mulai menyusun rencana-rencana dalam otaknya, berharap jika Nanda akan mau bergabung dalam timnya.

***

Nanda sebenarnya tidak keberatan untuk pindah rumah, asalkan bersama mamanya. Hanya saja, ia mengkhawatirkan kedua kucingnya yang harus kembali beradaptasi dengan lingkungan baru. Mereka bisa saja bingung dan tidak suka, tapi tak bisa menolak. Ya, itu hanya pikiran random Nanda saja.

"Wow, ini rumahnya, Ma?" tanya Nanda saat mamanya membelokkan mobil memasuki gerbang rumah yang cukup besar. Rumah itu terdiri dari dua lantai dengan halaman cukup luas. Sejak memasuki komplek, Nanda sudah berfirasat jika daerah ini adalah komplek perumahan elit. Dari sini Nanda mulai menyadari jika Airin lebih kaya daripada dugaannya.

"Bagus nggak?" Airin melepas seatbelt usai memarkirkan mobil di halaman rumah. Di sana kini sudah ada beberapa mobil dan orang-orang yang sibuk memindah perabotan ke rumah barunya.

"Bagus sih, tapi emangnya nggak terlalu besar buat kita tinggal berdua?"

Airin hanya tersenyum. Ia cukup bangga bisa membeli rumah impiannya dengan jerih payah sendiri. Ia sengaja membeli rumah yang besar karena suatu hari---yang entah kapan---ia juga ingin membawa orang tuanya tinggal bersama.

"Mama ternyata se-holkay itu." Nanda tertawa selagi mengagumi pencapaian mamanya. Kalau dipikir-pikir, ia sedikit insecure menjadi anak dari wanita tangguh seperti Airin. Selama ini, tiada pencapaian apa pun yang berhasil Nanda raih. Mungkin omanya benar, ia terlahir bukan untuk mewarisi otak cerdas ibunya.

"Ayo turun, kita lihat-lihat ke dalem." Airin turun lebih dulu, disusul Nanda dengan membawa kedua kucingnya yang mendekam di kandang.

Nanda tak habis mengagumi setiap sisi di lingkungan itu. Terlebih pada rumah bak istana yang berhadapan dengan rumah mamanya. Ia jadi berpikir, mungkin yang tinggal di sana adalah orang sekelas menteri.

Ananda✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang