45-Semua Aku Dirayakan

1.5K 164 65
                                    

Nanda berniat menyudahi pembicaraan dengan Zayyan ketika tubuhnya sudah terasa cukup lelah. Punggungnya mulai pegal karena duduk terlalu lama. Yang dari sana Nanda sadar jika semakin ke sini, ia semakin dekat dengan definisi remaja jompo.

Haidar yang sempat menghilang, beberapa waktu lalu sudah kembali dan ikut andil dalam obrolan. Dirinyalah yang akhirnya memutus pembicaraan, usai Nanda seperti memberikan isyarat padanya. Ia juga sudah merasa puas, karena targetnya membuat Nanda termotivasi sudah berjalan sesuai rencana.

"Lo mau sekalian gue anter nggak, Bang? Gue bawa mobil, kok," ucap Haidar, menawarkan tumpangan pada Zayyan. Ia tentu tidak enak jika meninggalkannya, sebab tahu Zayyan tidak membawa kendaraan sendiri.

"Iya, Bang, ayo sama kita aja." Nanda ikut menambahi. Paling tidak, ia bisa tahu di mana rumah Zayyan dan sewaktu-waktu mengunjunginya.

"Makasih tawarannya, tapi kalian langsung pulang aja. Nanda udah kelihatan pucet, capek ya?"

Nanda menggeleng, berusaha menyembunyikan rasa lelahnya meski mungkin percuma. "Enggak kok, gue masih oke. Ayo kalau mau sekalian pulang sama kita, Bang."

"Enggak usah, tadi saya udah minta kakak saya buat jemput. Katanya bentar lagi sampai. Kalian duluan aja." Zayyan mengulas senyum, meyakinkan dua remaja di hadapannya bahwa ia bisa mengatasi sendiri.

"Ya udah, kita tungguin aja sampai kakaknya Abang dateng." Nanda urung beranjak meski di sebelahnya, Haidar sudah berdiri dan bersiap keluar.

"Nggak perlu, Nanda. Udah sana kalian duluan aja, santai."

"Iya, ih. Ayo, Nan, buruan berdiri," ucap Haidar yang lelah menunggu Nanda selesai basa-basi. "Bang Zayyan bukan anak kecil, lo nggak usah takut dia bakal ilang kalo kita pergi duluan."

Zayyan tertawa kecil, sudah cukup biasa melihat tingkah laku Haidar. "Iya tuh, bener. Saya nggak akan ilang kok."

Nanda berdecak pelan. Apakah dua orang di sebelahnya ini benar-benar tak mengerti maksudnya? Nanda hanya tak enak meninggalkan Zayyan yang sangat baik pada dirinya dan Haidar. Namun mendengar mereka yang terus memaksa, Nanda akhirnya bangkit dari duduk.

"Pamit dulu ya, Bang. Makasih buat obrolan dagingnya, kapan-kapan kita lanjutin," ucap Haidar seraya bertos ala cowok dengan Zayyan.

Nanda pun tak melewatkan kesempatan untuk mengucap rasa terima kasih yang entah ke berapa kali. Setelah berpamitan, ia dan Haidar keluar dari kafe menuju tempat parkir.

Begitu memasuki mobil, Nanda langsung menyandarkan tubuh pada jok, pun sedikit menurunkan sandarannya. Akhirnya punggungnya dapat sedikit lebih lega. Tangan lelaki itu pun mengambil botol air mineral yang masih tersegel, membukanya untuk ia minum.

"Nggak nyesel kan gue ajakin ketemu Bang Zayyan? Tadi aja nolak, tapi ternyata sampai betah ngobrol berjam-jam," ucap Haidar yang mulai mengendarai mobilnya meninggalkan pelataran kafe.

Nanda tertawa kecil, ia sendiri juga tidak menyangka. "Kok ada ya orang se-positif vibes dia? Apa pun yang dia omongin tuh adem banget kayak mata air pegunungan. Gue baru nemuin, deh." Nanda meneguk air mineral sedikit, kemudian memeluk botol yang sudah kembali tertutup rapat.

"Lah, gue?" Haidar menunjuk dirinya sendiri, sekilas menatap Nanda.

"Elo kenapa?"

"Gue kurang positif vibes apa, ha?"

Nanda berdecih, sudah menduga jika Haidar akan iri karena ia memuji orang lain. "Elo mah cowok prik."

"Kurang ajar." Haidar kesal, tapi juga tak dapat menahan tawa mendengar penilaian Nanda tentang dirinya. "Lo pikir elo nggak prik?"

Ananda✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang