35-Hilang Percaya Diri

952 148 33
                                    

Tibalah hari di mana kondisi Nanda sudah memungkinkan untuk menjalani kemoterapi. Setelah melakukan pemeriksaan, dokter memutuskan untuk menaikkan dosis obat-obatan guna memerangi sel ganas yang terus berkembang.

Efek samping yang dirasakan oleh Nanda usai obat kemo masuk ke tubuh, kini terasa lebih menguji kesabaran. Seumpama medan perang, tubuhnya terasa porak-poranda kala obat kemo dan sel ganas itu saling berusaha mempertahankan diri.

Satu minggu pasca kemo, akhirnya kondisi Nanda mulai berangsur membaik. Lelaki itu kini tengah berbaring di ruang rawatnya, menunggu keputusan dokter untuk mengizinkannya pulang.

Airin masih setia menemani Nanda, berusaha hadir di setiap anak itu membutuhkan dirinya. Ia bersyukur karena di kelilingi pula oleh orang-orang yang menyayangi dirinya dan Nanda. Tak dapat Airin bayangkan jika dalam situasi seperti ini, ia harus menghadapinya seorang diri.

"Cemberut terus deh Nanda dari tadi. Percaya sama Mama, sore nanti pasti udah dibolehin pulang," ucap Airin seraya mengenggam satu tangan Nanda. Ia juga menatap wajah putranya yang beberapa hari terakhir sama sekali tak menampakkan raut senang. Airin paham, pasti Nanda merasa tertekan melewati fase yang kian lama kian terasa berat.

Efek dari obat kemo membuat Nanda semakin melemah. Bahkan helai rambut Nanda kini sudah sepenuhnya tak tersisa karena kerontokan hebat. Sedari kemarin, Airin berusaha memvalidasi semua perasaan sedih Nanda, juga membantu anak itu sampai pada sebuah penerimaan.

"Ma ...."

"Hm? Kenapa?"

"Nanda minta maaf."

Airin mengernyit heran, tak paham kenapa Nanda tiba-tiba meminta maaf. "Maaf buat apa? Nanda nggak salah apa-apa, kenapa harus minta maaf?"

"Kalau Nanda begini terus, yang ada Nanda lagi-lagi jadi penghalang buat Mama. Harusnya Mama mulai fokus buat nyiapin pernikahan Mama, bukannya malah ngerawat Nanda yang sakit-sakitan kayak gini."

Hati Airin terasa mencelos mendengar ungkapan Nanda. Bahkan ia sama sekali tak terpikirkan dengan hal itu.

"Dari dulu Nanda selalu jadi penghalang kebahagiaannya Mama. Kenapa ya, Nanda lahir buat jadi anak nggak berguna kayak gini? Maafin Nanda ya, Ma?" Nanda mengusap air matanya yang tiba-tiba mengalir begitu saja.

Sementara di tempatnya, Airin kehilangan kata. Kedua netranya pun mulai berkaca-kaca. Bahkan dalam kondisinya yang masih lemah, Nanda masih begitu memikirkan kebahagiaannya.

"Mama pasti nggak bisa gerak leluasa karena mikirin kondisi Nanda yang begini. Harusnya Mama bisa punya banyak waktu berdua sama Om Janu. Harusnya Mama lebih bisa banyak senyum daripada nangisin Nanda. Nanda udah nyita banyak waktu Mama buat nemenin Nanda yang begini. Maaf, Ma."

Runtuh sudah pertahanan Airin hingga air mata wanita itu pun menetes. Namun, segera saja ia menghapusnya, lantas melempar senyum kecil pada Nanda. Tangan dalam genggamannya ia genggam makin erat.

"Nanda ... kamu tau nggak, kamu itu hal paling berharga dalam hidupnya Mama. Mama nggak pernah ngerasa kalau kamu halangin jalan Mama buat bahagia. Semua pasti ada waktunya sendiri-sendiri, Nanda. Ada waktunya Mama bakal nikah, ada waktunya kita semua bakal bahagia sama-sama. Sekarang mungkin kita masih harus ngerasain pahitnya dulu, tapi Mama yakin nanti kita bakal bahagia sama-sama."

Airin mengusap air mata Nanda, tanpa peduli pada pipinya yang juga kembali basah. "Dan Mama minta tolong, Nanda jangan pernah lagi ngerasa kalau Nanda itu cuma beban di hidupnya Mama. Bagi Mama, Nanda itu anugrah. Allah kasih Nanda ke Mama karena tau Mama nggak bisa hidup sendirian. Allah kasih Nanda ke Mama karena dengan adanya Nanda, Mama bisa tau arti cinta seorang anak dan ibu."

Ananda✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang