09-Menerima Ajakan

1.4K 214 38
                                    

Minggu pagi, Nanda mengajak Airin untuk jalan-jalan sambil melihat-lihat komplek perumahan baru mereka. Sepanjang jalan, Nanda tak henti bercerita. Seolah semua kisah yang selama ini hanya dapat ia pendam sendiri, ia ceritakan satu per satu.

Airin pun antusias mendengar cerita Nanda. Sesekali ia tertawa karena kejadian konyol yang pernah Nanda alami. Semenjak tinggal bersama anak itu, Airin jadi lebih banyak tertawa. Energi yang Nanda punya tersalur pada dirinya. Bahkan orang-orang di klinik sering keheranan melihat Airin lebih murah senyum, dibanding biasanya yang terkenal sangat cuek.

"Sarapan bubur ayam mau, Nda?" tanya Airin saat netranya menemukan gerobak penjual bubur ayam, tak jauh dari area taman yang cukup ramai.

"Boleh, kebetulan udah laper juga ini." Nanda dengan semangat yang masih penuh, mengikuti Airin menuju penjual bubur ayam. Ia senang karena sekarang mamanya tak begitu pilih-pilih soal makanan. Nanda merasa bangga sebab bisa membuat Airin tahu betapa menyenangkannya makan di pinggir jalan.

Nanda duduk di kursi yang tersedia dan membiarkan Airin memesan. Tak lama kemudian, Airin mengambil tempat di hadapan Nanda. Wanita itu meraih tisu umtuk mengelap wajahnya yang berkeringat.

"Mama capek, ya?"

Airin mengulas senyum, kemudian menggeleng kecil. "Segini doang mah bukan apa-apa. Malah kamu yang kelihatan capek."

"Iya banget. Tapi emang dasarnya mageran sih, makanya gini doang capek. Kalau Oma tau Nanda bangun pagi di hari Minggu, pasti Oma bakal tepuk tangan." Nanda mengejek dirinya sendiri yang sangat payah. Andaikan tidak menguatkan diri, sudah sedari tadi Nanda ingin tiduran. Ternyata rebahan adalah hal paling nikmat dibanding olahraga seperti tadi. Walaupun hanya jalan dan lari kecil, Nanda merasa sangat lelah.

Setelah menunggu sambil mengobrol, pesanan mereka pun datang. Nanda cukup tergiur melihat bubur ayam dengan toping komplit di atasnya, tampak sangat enak. "Kelihatannya enak nih. Mama tim bubur diaduk apa nggak diaduk?"

"Enggak."

"Ih, mana enak? Rasanya nggak akan kecampur, Ma," ucap Nanda sambil mengaduk berbagai elemen dalam mangkuknya. "Gini ini baru enak."

Airin hanya geleng-geleng kepala melihat cara Nanda memakan bubur itu. "Bentuknya jadi amburadul gitu, nggak estetik. Mending gini, Nda."

"Ma, ini tuh mau masuk ke lambung. Ntar di sana juga bakal diaduk-aduk."

"Serah kamu deh, Nda, kita emang nggak klop."

Nanda langsung merengut usai mendengar itu. "Ya udah deh, besok-besok mah Nanda nggak akan jadi tim bubur diaduk. Biar klop sama Mama. Tapi ini karena udah terlanjur jadinya Nanda habisin dulu aja."

Airin tertawa mendengar tutur putranya. Mereka akhirnya mengusaikan perselisihan tentang cara memakan bubur itu.

Sedang asik menikmati makanan, tiba-tiba mereka mendengar suara debuman keras diiringi tangisan anak kecil. Keduanya segera bangkit dan mengecek jalan. Mereka lekas mendekati seorang anak yang jatuh di jalan dalam posisi tengkurap. Di kedua kakinya terpasang sepatu roda beserta helm di kepala. Sepertinya anak itu kehilangan kendali sepatu rodanya hingga terjatuh.

"KAI!" Janu berlari menghampiri anak bungsunya yang sedang dibantu duduk oleh Airin. Ada pula Haidar yang mengekor di belakangnya, yang juga menampakkan raut khawatir.

"Sttt, nggak papa nggak papa, sini kakinya lurusin dulu." Airin mencoba menenangkan Kaisar yang masih menangis sambil memegangi lututnya yang tergores aspal.

"Sa-kit ... huaa, Ayahhhh, berdarahhh." Kaisar menangis semakin keras kala melihat darah mengalir dari luka di lututnya.

"Astaga, makanya hati-hati, Kai. Ayah udah bilang pelan-pelan aja loh main sepatu rodanya." Janu langsung bersimpuh di depan anaknya. Ia meraih pundak Kaisar, lantas mengusap debu di baju anak itu.

Ananda✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang