23-Berbicara Hati

1.1K 181 11
                                    

Risma turun pelan-pelan dari ranjang usai memastikan Nanda terlelap. Saat ia datang tadi, di ruang rawat Nanda ada pula Janu dan Airin. Tapi tak lama setelah kedatangannya, Nanda tiba-tiba meminta Janu untuk menemani Airin makan, sehingga hanya tersisa ia yang menjaga Nanda.

Dengan sukarela, Risma menuruti semua keinginan Nanda, termasuk mengusap kepala anak itu hingga tertidur. Setiap kali sakit, Nanda memang suka diperlakukan seperti itu. Entah apa tujuannya, tapi Risma pernah mendengar dari Nanda, katanya tangannya adalah tangan ajaib yang bisa mengenyahkan sakit. Ya, tentu saja Risma tak percaya. Ia hanya meyakini jika anak itu sedang ingin dimanja.

Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka. Airin dan Janu masuk setelah menghabiskan waktu di kantin rumah sakit. Melihat Nanda yang tertidur, keduanya seketika lebih berhati-hati agar Nanda tidak terbangun.

"Udah lama tidurnya, Bu?" tanya Airin, sekilas menatap Nanda yang terlihat tak terusik.

"Baru aja, belum nyenyak palingan."

Airin hanya mengangguk singkat. Ia beralih pandang pada Janu yang ada di belakangnya, sedikit menggeser tubuh sebab pria itu ingin berpamitan pada ibunya. "Janu mau pamit."

Janu melempar senyum pada Risma. "Saya pamit dulu, Bu. Ada urusan mendadak di kantor, maaf sekali belum bisa ngobrol banyak."

"Oh iya, nggak papa. Bisa kapan-kapan lagi, makasih juga udah sempat jenguk Nanda."

Janu melebarkan senyum, menyalami Risma, lantas melempar tatapannya pada Airin. "Bilangin Nanda ya, aku pamit ke kantor dulu. Kalau ada waktu pasti aku ke sini lagi. Tapi semoga Nanda cepet pulih dan bisa segera pulang."

"Amin, makasih, Jan." Airin mengantar Janu hanya sampai pintu.

Setelah memastikan pria itu berlalu, Airin kembali ke dalam. Ia mendekati ibunya, duduk di sofa bersebelahan dengan wanita itu.

"Seneng loh Ibu sama dia. Kamu nggak mau sama dia aja, Rin?"

Airin langsung menegakkan tubuh yang semula bersandar pada sofa. Ia memandang ibunya dengan kerutan halus di kening. "Maksud Ibu?"

"Januarta itu loh, cocok jadi suami kamu. Ya walaupun duda, tapi nggak akan Ibu larang. Udah mapan, baik, santun, umur juga selisihnya nggak jauh-jauh amat sama kamu. Masih bisa lah kalian nanti kasih cucu ke Ibu, iya kan?"

"Jangan bahas di sini, Bu, ntar Nanda denger." Airin berucap sepelan mungkin, sesekali melihat Nanda dan memastikan anak itu masih tertidur.

"Kalo denger juga nggak papa kali. Masa iya dia mau ngalangin jalan mamanya terus buat cari suami. Harusnya kan dia juga ngerti kalo kamu butuh pendamping. Ibu juga nggak tega lihat kamu repot sendirian ngurusin Nanda. Kamu pikir Ibu nggak peduli juga ke kamu? Coba mulai buka hati kamu buat pria lain, biar nggak nanggung stress sendiri."

"Apaan sih, Bu, aku nggak pernah ngerasa direpotin ngurus anakku sendiri. Urusan hati juga Ibu nggak perlu ikut campur."

Risma menghela napas lelah, sudah mulai terbiasa dengan segala alasan Airin. "Terserah kamu aja udah, yang penting Ibu udah ingetin. Hidupmu itu udah banyak cobaan, jangan sok kuat terus dan bisa ngelewatin semuanya sendiri. Kamu butuh orang lain selain ayah sama ibumu, Rin. Jangan terlalu bergantung sama Nanda. Kalau amit-amit ada kejadian yang nggak dipenginin, kamu nanti mau pegangan ke siapa? Nggak mungkin kan mau ikut jatuh juga?"

"Ibu ngomong apaan, sih? Istighfar, Bu. Jangan bilang yang aneh-aneh, deh! Aku nggak suka." Meski tak terang, Airin paham betul apa yang ibunya maksud. Ia sudah tidak ingin lagi mendengarkan ucapan ibunya. Ringan sekali mulut wanita itu berbicara soal hal buruk.

Ananda✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang