2. Dia Arkein

59 12 0
                                    

Jalanan siang ini cukup padat namun masih terkendali. Mobil yang Arkein kendarai melaju pelan di antara kendaraan lain. Keheningan berkuasa di antara kedua insan itu sebelum Arkein melontarkan kalimatnya.

"International business management, right?" Pertanyaan Arkein membuat Aretha yang tadinya tengah menikmati cerahnya langit biru menoleh padanya yang tengah fokus mengendalikan setir.

"Lo tau?"

Arkein tersenyum tipis sembari menatap Aretha sejenak, lalu kembali fokus pada jalanan. "Dan itu pasti bukan jurusan yang lo mau."

Aretha tertegun, apa Arkein punya kemampuan membaca isi kepala orang lain? "Sok tau," balas Aretha sembari terkekeh canggung.

Tepat ketika lampu lalu lintas berganti simbol menjadi petunjuk untuk berhenti, Arkein menoleh sepenuhnya pada gadis di sampingnya.

"Lo pernah dengar, kalau orang gak akan pernah benar-benar memahami sesuatu sampai hal itu benar-benar terjadi pada mereka?" Arkein menatap gadis itu intens. Aretha sempat mati kutu dibuatnya.

Selanjutnya setelah berhasil mencerna ucapan Arkein, Aretha mengerti mengapa lelaki itu bisa terlalu jauh mengenali dirinya, mungkin dua tahun lalu Arkein juga berada di posisi yang sama.

"Aah, lo anak IBM juga. Misalkan lo gak di prodi itu, prodi apa yang jadi pilihan lo?" Aretha jadi tertarik untuk berbicara banyak dengan seseorang yang sudah melewati fase seperti dirinya sekarang.

Arkein menyandarkan kepalanya pada bantalan kursi mobil, netranya lurus ke depan memandangi lampu lalu lintas yang belum berganti. "Entahlah, gak ada kesempatan buat mikir ke sana."

"Gue pengin prodi sastra." Aretha bercerita tanpa ditanya.

"Eugenia gak peduli sama keinginan lo." Arkein memandangi tangan mungil Aretha yang terkepal sekilas, lalu kembali menjalankan mobil ketika lampu lalu lintas berganti.

"Tau, kok! Tapi gapapa, just be realistic setiap pilihan hidup pasti punya konsekuensinya masing-masing. Banyak orang di luar sana yang harus merintis dari nol, sedangkan kita cuma perlu banyak belajar sebagai penerus." Arkein tak berekspetasi Aretha lebih menerima keadaan ini dibanding dirinya. Mungkin karena mereka tumbuh dengan didikan yang berlawanan. Dibelai dengan kasih sayang dibanding paksaan tentu akan menghadirkan karakter yang berbeda.

"Senang mengenal lo, Aretha. Mungkin kita bakalan baik-baik aja sekarang, tapi gak tau di masa depan bisa jadi kita terlibat dalam hal persaingan bisnis, gue udah dengar banyak soal Eugenia."

Aretha menautkan alis tak mengerti sepenuhnya dengan ucapan Arkein. "Bersaing? Kenapa harus bersaing?" Gadis ini masih terlalu polos soal dunia bisnis. Ia jadi ragu apakah Eugenia terkendali di genggaman Aretha, gadis itu masih perlu di rangkul.

Arkein menghela sejenak sebelum menjawab kebingungan gadis cantik di sebelahnya. "Karena Eugenia dan Morgan berada di industri yang sama, bersaing dalam hal semacam persaingan generik-—ah, lo masih delapan belas tahun, ntar juga bakal paham." Kepala Arkein sudah mengepul rasanya ketika berbicara soal bisnis, sudah cukup ia dibuat pusing oleh Hardin Morgan ketika menghabiskan liburan di Jerman kemarin.

"Siap, senior." Aretha mengangkat tangannya ke pelipis, membuat tanda hormat sembari mencibir pada Arkein. Lelaki itu hanya menoleh sekilas sembari menahan lengkungan bibirnya.

Sepersekian menit setelahnya, mereka kini tiba terlebih dahulu di vila sebelum mobil kedua yang dikendarai Joan. Keduanya segera keluar dari kendaraan itu dan disambut oleh beberapa pelayan berpakaian hitam putih yang hendak membawakan barang-barang mereka.

"Terima kasih," ucap Aretha ketika pelayan di sana mengambil alih ranselnya. Lalu ia menyusul Arkein menelusuri vila dua tingkat yang terbilang luas. Pepohonan, bukit yang tak terlalu tinggi serta padang rerumputan terawat yang luas mengelilingi bangunan vila itu.

ARCANETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang