18. Akhir Pekan yang Manis

32 6 0
                                    

"Kita mau ke mana?" Pertanyaan itu lolos dari mulut Aretha ketika mobil yang Arkein kendalikan keluar dari gerbang besar rumah keluarga Rysh.

"Ke mana aja. Seperti yang gue bilang sebelumnya, akhir pekan ini gue bakal nurutin semua keinginan lo."

Waktu nyaris menyentuh pertengahan pukul empat. Beberapa masa silam Arkein meminta Aretha untuk bersiap-siap, katanya mau jalan sore. Dengan senang hati tentu gadis itu mengiyakan meski belum tahu ke mana arah tujuan. Kini, keduanya tampak serasi mengenakan pakaian dengan warna paling netral, hitam.

"Anggap aja gue supir pribadi lo hari ini, jadi kita mau ke mana?" tanya Arkein kembali, fokusnya terbagi antara mengendalikan setir dan memperhatikan sang jelita di sampingnya.

Aretha terkekeh kecil mendengar ucapan lelaki itu, selanjutnya ia mengedikkan bahu, bingung. "Belum kepikiran mau ke mana."

Lelaki itu memutar isi kepalanya, lantas teringat pada rak buku di kamar Aretha yang masih memiliki ruang kosong. "Gimana kalau ke toko buku? Lo boleh beli buku apapun buat ngisi bagian rak buku lo yang kosong," sarannya.

Pupil manik kelam Aretha melebar bersamaan dengan raut wajah gadis itu yang begitu sumringah. "Boleh?"

"Apapun untuk lo, Aretha."

"Lagi banyak uang, yaa?" tanya gadis itu diiringi intonasi suara ledekan.

"Lo tau? Gue menang lomba melukis kemarin, awalnya iseng kirim karya karena dapet informasi dari Jemar. Hadiahnya lumayan," perjelas lelaki itu.

Aretha mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai respon. Ia tahu pewaris Morgan itu gemar melukis karena beberapa kali melihat banyak papan lukis di sudut ruang kamar Arkein.

"Ada foto lukisannya gak? Mau lihat boleh?" pinta Aretha yang selalu penasaran.

Arkein membuka ponselnya dengan tangan lain, tangan kanannya fokus mengendalikan setir. Setelah menemukan foto hasil lukisannya kemarin, ia menyerahkan ponselnya pada Aretha.

"Wahh!" Gadis itu berdecak kagum ketika pertama kali melihat lukisan Arkein. Meski tak bewarna, namun detail lukisan itu begitu rapi. Sepasang anak kecil yang tengah berinteraksi di lapangan penuh rerumputan, anak perempuan di sana tengah menerima sekumpulan bunga yang diberikan oleh si anak lelaki. Sederhana, namun lukisan itu terasa hidup.

"Lo pinter dalam banyak hal, ya? Boleh gak kalau gue merasa bangga sama lo? Lo keren banget, Kein!" Aretha terkekeh kecil dengan raut wajah yang begitu bersemangat.

Anak kecil di dalam diri Arkein yang dahulu tidak pernah sama sekali mendapatkan rasa dihargai kini rasanya ingin memekik bahagia. Sehebat apapun hal yang ia lakukan dahulu seakan tak bernilai apapun di mata Hardin Morgan, Ayah biologisnya.

Arkein tumbuh dengan anggapan bahwa seorang anak memang seharusnya menjadi begitu pintar, berbakat dalam hal apapun bahkan nyaris tanpa celah jika ingin diperlakukan baik. Jikalau ia melewatkan salah satu dari ketentuan itu, maka Hardin dengan tega mencaci-maki dirinya bak makhluk yang tak berguna.

"Kenapa? Kok diem?" Pertanyaan Aretha membuyarkan memori kelam di kepala Arkein.

Lelaki itu menggeleng. "Ah, enggak." Ia menjeda lantas memalingkan wajah sepenuhnya pada Aretha. "Gue sangat berterimakasih untuk ucapan lo tadi."

"Lo memang pantas di apresiasi, kok."

Senyuman di wajahnya Arkein terlalu sering terukir dengan baik semenjak Aretha kembali hadir di hidupnya. "Boleh pinjem tangan lo?" tanya lelaki itu kemudian sembari menyodorkan telapak tangan kirinya.

ARCANETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang