Pada akhirnya, Aretha berakhir terduduk di balik bilik toilet perempuan. Ia melampiaskan rasa kekesalannya menjadi sebuah tangisan. Bukan, bukan karena dirinya merasa malu karena kejadian sebelumnya. Namun, ia meratapi tas lengan bewarna putih gading yang terdonai di pangkuannya. Tas itu peninggalan Mama, gadis itu sering mengenakan barang milik mendiang Mama sebagai ungkapan rasa rindu yang tak tersampaikan.
Setelah usai menghapus segala jejak air mata di pipi, Aretha keluar dari balik pintu kamar mandi itu. Ia beralih menatap diri pada cermin wastafel. Tak ingin berlarut-larut, Aretha memutar kepala keran lalu menggunakan air yang mengalir di sana untuk membantu menghilangkan noda di tas itu. Barang-barang miliknya di dalam tas itu ia letakkan di sisi lain wastafel.
Nodanya tidak hilang sepenuhnya, material terluar tas kulit itu ikut terkelupas karena pergerakan jemari Aretha yang kuat memaksa menghilangkan noda itu. Mungkin karena benda itu sudah berusia puluhan tahun, materialnya menjadi mudah rapuh.
"Maaf, ya Ma. Tasnya rusak," gumam Aretha memelan.
Aretha memungut kembali barang miliknya untuk ia kemas. Lalu segera memulai langkah ingin keluar dari toilet, kelasnya pasti sudah dimulai beberapa menit lalu.
Ia mendapati beberapa gadis lain yang hendak memasuki toilet, namun mereka menarik langkah mundur ketika melihat kehadirannya.
Aretha menautkan alis tak suka. "Seolah-olah gue yang jahat di sini."
"Aretha, ya ampun! Lo gapapa!" Suara berisik Ifani menjadi yang pertama kali Aretha terima ketika sudah sepenuhnya keluar dari toilet.
Gadis itu meraba-raba tubuh Aretha memastikan tidak tergores sama sekali. "Maaf, ya, gue telat karena macet tadi. Lo gak sempet diapa-apain 'kan? Gila tuh kating, gue aduin ke Papa Joan biar tau rasa! Dia harus tau siapa lo, Aretha!"
"Ssstt!" Aretha menahan mulut Ifani dengan jari telunjuknya. "Gila lo ngomong sendiri aja berasa rame banget! Gue gapapa, Ifani. Gak usah cepu, lah! Lagian udah kelar juga."
"Tas lo basah, tuh! Barang-barang lo masukin ke tas gue aja!" Gadis itu tidak memberikan penawaran, ia seenaknya membuka tas Aretha lalu memindahkan barang gadis itu ke tas miliknya dengan terburu-buru.
"Berat, gak?" tanya Aretha sembari keduanya melangkah meninggalkan area toilet.
"Santai aja, kayak sama siapa aja lo."
Dari kejauhan, Aretha tidak menyadari keberadaan Arkein dan teman-temannya di koridor tak jauh dari toilet perempuan. Para lelaki itu tengah menghadapi Grazela dan antek-anteknya.
"Kein lo nyari gue karena khawatir 'kan? Gila cewek itu jahat banget gue sampai di dorong, loh!" Grazela berteriak manja pada lelaki dengan raut wajah tampak jengah di hadapannya kini.
"Ke psikolog lo."
Ketiga lelaki lain di belakang Arkein reflek tertawa terbahak-bahak.
"Diem lo pada!" hardik gadis berambut coklat dengan wajah khas Tionghoa itu.
"Lo inget omongan lo kemarin?" tanya Arkein.
Grazela menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Y-yang mana, ya, Kein?" katanya pura-pura lupa.
"Mau gue ingetin? Gue ada rekamannya, nih!" sahut Luca sembari menunjukkan ponselnya.
"Gila! Ngapain lo rekam?" protes gadis itu.
"Harus direkam, lah! Peristiwa bersejarah itu, kali aja ada cewek yang beneran berhasil naklukin kegilaan lo."
"Kalau ada cewek yang berhasil jatuhin lo, dia pacar gue dan lo yang memulai kesepakatan itu." Arkein mengulang perkataan Grazela padanya satu tahun silam.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARCANE
Fiksi RemajaAretha Eugenia, masa remaja yang ia pikir akan dihabiskan dengan hal-hal monoton, berhasil terpatahkan ketika Leonora--nyonya besar keluarga terpandang Rysh sekaligus sahabat mendiang Ibunya memutuskan untuk mengambil sepenuhnya tanggung jawab atas...