"Kein, lo di dalem gak?" Pintu dengan cat putih tulang itu sudah Aretha ketuk berulang kali, namun empunya tidak kunjung membuka.
"Tidur kayaknya," gumam Aretha lalu memilih hendak berbalik.
"Kenapa?"
"Anjir!" Gadis itu menahan bibirnya dengan telapak tangan ketika nyaris memekik karena terkejut akan kehadiran Arkein yang tiba-tiba muncul di belakangnya.
Arkein terkekeh melihat air muka gadis di hadapannya. "Maaf, gue dari perpus tadi, kenapa?" tanyanya.
"Boleh pinjem charger laptop lo, gak? Punya gue hilang."
"Bentar gue cari." Arkein membuka pintu kamarnya lalu memasuki ruangan bernuansa biru gelap berpadu putih tulang itu, Aretha menyusul di belakangnya.
Ini pertama kalinya gadis itu berada di kamar Arkein. Satu hal yang berhasil menarik atensi, lelaki itu juga memiliki rak untuk buku koleksi seperti miliknya.
Melihat Arkein tengah sibuk mencari pengisi daya laptop miliknya, Aretha mengitari pandangan memperhatikan setiap inci kamar lelaki itu. Ia mendapati sekumpulan peralatan melukis di sudut ruangan berada dekat jendela yang terbuka, tampaknya Arkein gemar melukis.
Lalu kedua manik gadis itu tertuju pada sebuah buku dengan sampul gelap di hadapannya, tepat di atas meja belajar.
"Justice for Arkiel." Aretha bergumam pelan sembari membaca judul yang tertera pada sampul utama.
Jemari gadis itu tergerak untuk membuka lembaran buku itu, kertas putih kekuningan polos tanpa garis, seperti buku sketsa. Aretha menemukan goresan pena hitam bertuliskan "tersangka", ada potret lelaki bernama Cello yang sempat menyergap mereka kemarin, serta data diri lelaki itu yang teramat singkat.
Biasanya Aretha menemukan susunan data tersangka seperti itu di film-film, bedanya Arkein menulisnya pada buku bukan pada sebuah papan.
"Lo liat apa?" tanya Arkein yang sebenarnya sudah berada di dekat gadis itu beberapa menit lalu, Aretha terlalu fokus sehingga tak menyadari.
"Eh, sorry, gue gak—"
"Gapapa, nih chargernya." Arkein sengaja memotong kalimat gadis itu, lalu menyerahkan kabel pengisi daya yang Aretha minta sebelumnya.
"Makasih, gue pinjem dulu, ya!" Ketika hendak berbalik untuk melangkah keluar dari kamar, rasa penasaran pada diri Aretha seakan mencegahnya.
"Kein, gue boleh tau soal Arkiel gak?" Aretha nekat bertanya.
"Kenapa lo pengin tau? Karena isi buku itu?" Arkein tahu gadis itu sempat dengan jelas mengulik isi buku miliknya.
"Karena lo." Gadis itu menjeda sebelum melanjutkan. "Gue juga mau tahu lebih banyak tentang lo."
Arkein menghela nafasnya sejenak. Ia bingung bagaimana harus memulai kata untuk meladeni gadis itu. Tiada satupun penghuni rumah ini yang percaya akan perkataannya tentang saudara kembarnya, hal itu membuat Arkein ragu untuk berbagi pada orang lain.
Aretha tersenyum kecut melihat tidak ada respon dari lelaki itu. "Yaudah, kalau lo gak nyaman gapapa," katanya sembari hendak benar-benar pergi.
"Gue udah lama gak ngulik kasus Arkiel." Lelaki itu akhirnya buka suara membuat Aretha reflek memutar tubuhnya kembali.
"Kenapa? Karena Papa?" Aretha mengingat keributan pada malam itu, Joan yang paling melarang Arkein berurusan dengan lelaki bernama Cello.
"Karena gak ada satupun yang percaya." Arkein lugas.
Memori kepala Aretha kembali mengulang kejadian malam itu. Berulang kali Joan mengatakan bahwa saudara kembar Arkein tiada karena mengakhiri hidupnya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARCANE
Teen FictionAretha Eugenia, masa remaja yang ia pikir akan dihabiskan dengan hal-hal monoton, berhasil terpatahkan ketika Leonora--nyonya besar keluarga terpandang Rysh sekaligus sahabat mendiang Ibunya memutuskan untuk mengambil sepenuhnya tanggung jawab atas...