5. "Edelweiss Girl"

58 9 0
                                    

Halaman luas vila itu terbuka tanpa pembatas, berhadapan dengan jalan setapak yang sering dilalui beberapa petani kebun teh. Dua sepeda gunung dibiarkan terparkir apik di sana. Dengan masing-masing tungkai yang melangkah beriringan, Arkein sudah membawa Aretha menuju sepasang sepeda itu.

"Lo bisa naik sepeda?" Lelaki tinggi itu memastikan.

Aretha yang tengah membenarkan kardigannya mengangguk patah-patah. "Bisa, sih. Tapi terakhir kali main waktu gue masih umur delapan tahun. "

Daripada terjadi hal buruk dan dirinya berakhir diberi wejangan habis-habisan oleh Papa Joan, Arkein sudah memutuskan pilihan yang paling tepat. "Yaudah, lo sama gue aja."

"Gue berdiri di belakang, gitu?"

"Duduk di stang juga gapapa."

"Dih!"

"Nih, pakai helm-nya dulu!" Arkein menyerahkan salah satu dari sepasang helm sepeda pada Aretha.

Gadis jelita itu mengikat surainya dengan asal sebelum memposisikan helm dengan nyaman di kepala. Karena kewalahan dengan pengaitnya, Aretha hendak melangkahkan kaki mencari kaca jendela vila sebagai cermin. Namun, tangan Arkein lebih sigap meraih tali pengait di bawah dagu Aretha untuk ia tautkan.

"Makasih," ucap Aretha singkat.

"Sini, naik!" Arkein sudah menaiki sepeda, ia menepuk pundaknya untuk memberi kode agar Aretha menjadikannya bantuan untuk berpegangan.

"Tapi lo beneran bisa 'kan?" pastikan Aretha ketika ia sudah menaiki pijakan di antara ban belakang sepeda itu.

"Terakhir sepuluh tahun yang lalu," canda Arkein.

"Ih! Sama aja kalau gitu!" Tangan Aretha reflek memukul pundak Arkein hingga lelaki itu sedikit meringis.

"Ga, bercanda! Pagi-pagi udah kenceng banget, cepet tua lo!"

"Kalau gue tua lo juga tua!"

"Ya, gapapa. Menua sama-sama."

"Dih? Ayo cepetan jalan!" gerutu Aretha tak sabar. Tanpa banyak kata, Arkein segera memulai kayuhan pertamanya.

Suasana pagi ini menawarkan panorama pemandangan yang indah. Hamparan ladang petani dan hijaunya kebun teh menjadikan layaknya bidadari bagi tiap mata yang memandang. Rasanya Aretha ingin mengantongi seluruh udara di sini untuk dibawa ke Kota. Seperti tak ingin merugi, ia membiarkan paru-parunya menerima banyak udara segar. Si cantik benar-benar menikmati, Arkein sendiri tidak banyak mengganggu selain memastikan pegangan Aretha masih sangat erat di pundaknya.

Mereka banyak menerima senyuman serta sapaan manis dari warga sekitar yang berlalu lalang hingga yang tengah berladang. Keduanya membalas dengan sepenuh hati.

"Orang di sini ramah-ramah atau emang banyak yg kenal sama lo?" Aretha membuka percakapan.

"Keduanya bener. Lebih tepatnya kenal sama Papa. Dulu listrik belum masuk ke daerah sini, jadi Papa yang bantu."

Aretha hanya ber-oh ria tanpa suara. "Kein, itu bunganya dijual, ya?" Jemari Aretha terarah pada seorang perempuan paruh baya yang tengah membawa sebuah bakul berisi bunga edelweis kering.

"Harusnya iya." Tidak banyak kalimat yang keluar dari mulutnya, Arkein tiba-tiba saja menepikan sepeda pada tepian jalan. Tepat ketika perempuan paruh baya itu beberapa langkah lagi melewati mereka.

Aretha segera turun dari pijakannya ketika Arkein menegakkan standar sepeda. "Mau ngapain?" tanyanya sembari menepikan helaian poni tipis pada dahinya.

"Lo mau 'kan?" Itu bukan sebuah tawaran, Arkein sudah mendengar Aretha menyukai edelweis.

Sudah dibilang, ia benar-benar mencari tahu soal gadis itu.

ARCANETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang