Suara decitan dari salah satu kursi yang ditarik mundur itu berhasil menarik atensi seluruh penghuni meja makan pagi ini. Arkein pelakunya. Ia mengisi kursi itu tanpa sapaan apapun, bahkan tampak mengabaikan beberap pasang mata yang memperhatikan.
Sengaja atau tidak, Arkein memberikan jarak satu kursi kosong di antaranya dan Aretha.
"Kamu sudah merasa lebih baik, Kein?" Leonora mematahkan segala kecanggungan di sana. Menyerahkan segelas susu putih di hadapan sang putra bungsu.
Arkein hanya mengangguk.
"Kalian akan berangkat dengan supir pagi ini, Kaylee ada dinas di luar kota." Itu Joan.
Putra sulung Rysh itu satu-satunya yang tidak berada di meja makan ini. Ia memulai hari sepagi mungkin karena harus melakukan perjalanan ke luar kota.
Setelah menghabiskan setengah gelas susu dalam beberapa tegukan, Arkein bangkit dari duduknya.
"Kein pergi, Pa, Ma!"
Belum sempat Aretha menghabiskan sepotong roti lapis di tangannya. Pergerakan Arkein yang tanpa aba-aba membuatnya mau tak mau ikut bangkit dari kursi sembari membawa sisa roti lapis miliknya.
"Aretha pergi, ya, Pa, Ma!" Setelah menyalami kedua tangan pasutri itu, Aretha terburu-buru mengejar langkah Arkein.
Tibanya gadis itu di area parkiran, Arkein sudah terlebih dahulu memasuki mobil. Setelah Aretha menyusul, kendaraan beroda empat itu segera berlalu meninggalkan kediaman Rysh.
"Kein! Lo pasti kesel, kan, sama gue?" Aretha berusaha menyamai langkah Arkein ketika menyusuri kawasan gedung FEB.
Laki-laki itu hanya menoleh, tidak menjawab.
"Gue ngadu ke Papa karena takut mereka ngincer kita lagi!" Aretha berusaha menjelaskan. Ia tak ingin berlarut-larut memendam rasa bersalahnya.
"Mending lo marahin gue dari pada silent treatment kayak gini, lo kira enak diginiin?" Kalimat Aretha yang satu ini berhasil menghentikan langkah lelaki itu. Ia menoleh sepenuhnya.
"Gue gak marah, Aretha!" Arkein tidak membentak, hanya mempertegas.
"Lagian gak ada gunanya juga, Papa udah sita mobil itu."
Sejujurnya Arkein sedikit menyayangkan mobil itu harus berakhir disita oleh Joan. Padahal pria itu sendiri yang memberikan padanya bertepatan ketika ia menginjak usia sembilan belas tahun.
Aretha menghela nafas perlahan. "Gue bisa kok bujukin Papa."
Arkein menyeringai, meremehkan. "Papa kalau udah buat keputusan gak bisa diganggu gugat." Tak ingin memperjanjang, lelaki itu memilih melangkah meninggalkan Aretha yang masih terpaku di sana.
"Ya, kan gue belum coba!" Aretha sedikit mengeras agar lelaki itu mendengarnya.
Arkein hanya menoleh sekilas seakan tak peduli. Lalu pergi begitu saja hingga hilang sepenuhnya dari pandangan gadis itu.
Aretha menyisir surainya kebelakang dengan jemari sebagai pertanda berusaha mengontrol kekesalannya. Tekadnya kuat untuk membuktikan kepada lelaki itu bahwa dirinya akan berusaha memperbaiki keadaan bagaimana pun caranya.
Sedari tadi, tiada satupun yang menyadari di antara keduanya bahwa ada seseorang yang memotret mereka secara sembunyi-sembunyi.
---
"Absen lo semalem?" Suara seorang lelaki menyambut Arkein ketika ia baru saja memasuki salah satu ruangan yang menjadi rahasia umum anak FEB.
Awalnya ruangan itu hanya sekadar gudang kecil. Namun, karena mereka memiliki hak istimewa dengan adanya kehadiran seorang putra keturunan pemilik kampus di pertemanan mereka, ruangan kecil itu menjadi tertata rapi dan secara tidak langsung disetujui sebagai hak milik mereka berempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARCANE
Teen FictionAretha Eugenia, masa remaja yang ia pikir akan dihabiskan dengan hal-hal monoton, berhasil terpatahkan ketika Leonora--nyonya besar keluarga terpandang Rysh sekaligus sahabat mendiang Ibunya memutuskan untuk mengambil sepenuhnya tanggung jawab atas...