Malam ini mau tidak mau Widari harus terima dikurung di dalam kamar, sebab ia tak diperbolehkan untuk kembali ke rumah penghibur hingga besok pagi.
Merebahkan tubuhnya, Widari menghembuskan nafas panjang, merasa bosan karena tak ada yang bisa dia lakukan. Jika bersama teman-temannya, ia pasti tak akan merasa bingung dan kesepian. Di sana setidaknya Widari bisa membantu menata penginapan atau mempersiapkan minuman dan makanan, bila tak diperbolehkan memberikan pelayanan. Tidak seperti sekarang yang tak tahu harus melakukan apa.
Menoleh ke arah pintu yang tertutup, Widari penasaran apa yang pria itu lakukan.
Apakah malam ini Lart akan kembali menidurinya?
Menggelengkan kepalanya, Widari rasa pria itu tak akan melakukannya. Mengingat bahwa di rumah ini ada Istrinya. Widari baru akan pindah ke rumah yang diberikan padanya besok. Rumah seorang simpanan yang tak sebesar rumah pemilik, tapi juga tak sekecil rumah para buruh jajahan.
Bosan hanya terkurung di kamar menunggu rasa kantuk yang tak kunjung datang, Widari bangkit dari tempat berbaringnya lalu berjalan keluar guna mencari udara segar.
Baru beberapa meter Widari menjauh dari kamarnya, ia justru tak sengaja melihat Lart. Matanya mencari benda besar atau ruang sebagai tempat persembunyian. Hingga Widari melangkah cepat, bersembunyi dibalik tembok papan kayu. Meski sembunyi, diam-diam Widari masih memantau. Ingin mengetahui kemana langkah kaki pria itu membawanya pergi.
Sampailah di depan ruangan tertutup, tangan pria itu mengambang ragu saat akan mendorong pintu. Namun pada akhirnya Lart tetap menerobos masuk begitu berhasil membukanya, setelah sebelumnya hanya diam tanpa melakukan apapun di depan pintu kayu tersebut.
Menegakkan tubuhnya, Widari keluar dari persembunyiannya.
"Ternyata pria itu memilih mendatangi Istrinya untuk bermalam," batin Widari menatap pintu yang tertutup.
Tentu saja! Simpanan bodoh mana yang berpikir bahwa pria yang sudah menikah tak akan pernah menyentuh perempuan yang dia nikahi.
Ya, Widari lah simpanan bodoh itu...
Membuang nafas panjang, Widari berbalik bersiap ke depan untuk mencari angin segar di malam hari yang sunyi dan dingin ini. Kaki jenjangnya membawa Widari ke teras depan, tapi di sana ia justru menemukan Pangestu yang mungkin tengah jaga malam.
Pria itu berbalik begitu menyadari keberadaannya.
"Widari? Ah-- maksudku Nyai," ralatnya memanggil Widari.
Widari tersenyum tipis menanggapi sapaan Pangestu padanya. Berjalan mendekat, Widari mendudukkan dirinya di samping pria itu.
"Udara malam tak baik untukmu. Kembali'lah ke kamar dan tidur dengan nyaman," ucap Pangestu memberi saran.
"Aku akan kembali saat sudah benar-benar kedinginan. Dengan begitu aku bisa tidur dengan cepat," balas Widari menatap lurus ke depan.
"Dan lagi, jangan panggil aku Nyai! Panggil Widari saja, aku masih sama rendahannya. Mungkin justru-- aku lebih rendah," lanjutnya mengingat panggilan pria pribumi itu padanya hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUN𝖦A PRIBUΜI |ᴅɪғғᴇʀᴇɴᴛ ʙʟᴏᴏᴅ| [ON GOING]
Historical FictionPelacur, wanita penghibur, murahan, atau apapun yang orang lain sematkan padanya tak membuat gadis itu menyesali keputusannya. Awalnya seperti itu, sampai dimana dirinya bertemu dengan sosoknya yang bagai hutan luas. Memberikan kesan tenang diawal...