Di tengah riuh ramainya daratan di pelabuhan, seorang pria berkulit sawo matang berdiri tegak, menatap dingin pemandangan mengerihkan yang terpampang di hadapannya. Di bawah pengawasan ketat London, tubuh dingin tak bernyawa para pribumi yang dituduhkan sebagai pemberontak itu, kini diperlihatkan di depan banyak mata. Namun, saat pria itu menelisik satu per satu wajah yang nampak di hadapan semua orang—tak ada satu pun di antara mereka yang ia kenali sebagai kawan seperjuangannya.
Semua itu hanya alibi.
Nyatanya para londo keparat itu membunuh pribumi yang tak pernah mengangkat senjata demi sebuah kemerdekaan. Mereka yang kini menjadi perhatian semua orang adalah orang-orang tak bersalah yang dihukum atas tuduhan pengkhianatan yang tak pernah mereka lakukan. Rahangnya mengetat, kedua tangan terkepal kuat. Tanpa bicara, ia memejamkan mata sejenak, menahan luapan amarah yang hampir tak terbendung. Ia pun berbalik dan hendak melangkah pergi, namun langkahnya terhenti saat sosok seorang perempuan menarik perhatiannya.
Di tengah keramaian tersebut, ia melihat seorang perempuan yang tampak berbeda, karisma yang tak bisa ia abaikan begitu saja. Anggun, berpendidikan, dan tak tergerak oleh ketakutan yang membelenggu banyak orang. Perempuan itu tinggi dan berdiri dengan sikap tenang, seperti tiang yang tegak di tengah badai, menatap lurus dengan sorot mata tajam yang menunjukkan keberanian dan kecerdasan. Cakara, pria itu, merasakan sesuatu yang asing dalam dirinya, sebenarnya ia telah menyadarinya sejak lama, namun tentu kesadaran diri membuatnya menjaga batasan yang tak boleh dilewati. Tenggorokannya terasa kering, ia pun meneguk ludah, mencoba mengabaikan perasaan yang sama setiap jumpa dengan sosoknya. Wajahnya terasa panas, entah karena panas matahari yang menyengat atau sebab lain yang tak ia mengerti. Beruntung kulitnya tak seputih kaum londo, sehingga semburat merah di wajahnya tak akan mempermalukan wajah garangnya yang dipenuhi bulu halus di bagian antara hidung dan bibirnya.
Menyadari keberadaan Cakara, Mbak Asri menghampirinya. "Apa dia anggota kita?" suara Mbak Asri dingin, tapi ada kecemasan yang sulit dijelaskan dalam sorot matanya saat bertanya.
Cakara menunduk, menahan napas sejenak, merasa tak layak berada begitu dekat, apalagi menatap mata yang begitu lama ia kagumi dalam diam. "Bukan, londo bajingan itu membunuh orang tak bersalah," jawabnya dengan suara serak, penuh rasa geram yang tertahan.
Mbak Asri mengangguk, seolah mengerti. Dia tidak perlu berkata lebih banyak untuk memahami amarah yang membara di balik perkataan Cakara yang penuh kekesalan. "Kalau begitu biarkan saja," katanya tenang, namun tegas. "Tetap waspada dan berhati-hatilah. Jangan melakukan kesalahan kecil atau kalian semua bisa bernasib sama seperti mereka," peringat Mbak Asri sebelum membalikan tubuhnya dan berjalan membelakangi Cakara yang hanya bisa memandang punggungnya yang mulai menjauh.
Benar...
Dia terlalu sempurna untuk dimiliki.
Tak terjangkau untuk digapai, seperti bintang yang tak akan pernah bisa disentuh oleh siapa pun. Bahkan para londo dan mantan suami yang bangsawan pun tak cukup layak untuknya, apalagi dirinya—pejuang rendahan yang hanya tahu bagaimana bertahan hidup di medan perlawanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUN𝖦A PRIBUΜI |ᴅɪғғᴇʀᴇɴᴛ ʙʟᴏᴏᴅ| [ON GOING]
Historical FictionPelacur, wanita penghibur, murahan, atau apapun yang orang lain sematkan padanya tak membuat gadis itu menyesali keputusannya. Awalnya seperti itu, sampai dimana dirinya bertemu dengan sosoknya yang bagai hutan luas. Memberikan kesan tenang diawal...