Pelacur, wanita penghibur, murahan, atau apapun yang orang lain sematkan padanya tak membuat gadis itu menyesali keputusannya. Awalnya seperti itu, sampai dimana dirinya bertemu dengan sosoknya yang bagai hutan luas. Memberikan kesan tenang diawal...
"Merdeka dari siapa? Bukankah sebagian penjajahnya dari negeri sendiri?"
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Andai saja kedudukannya sama dengan pria yang kini tertidur di sampingnya, yang dengan nafsu binatangnya memaksa berhubungan badan semalaman, mungkin Widari sudah memaki dan menghajarnya. Atau mungkin dirinya bisa saja membunuhnya saat hilang akal. Beruntung dia ingat bahwa dirinya hanyalah kaum jajahan yang melayani nafsu penjajah.
Benar-benar bajingan...
Tidak..! Lart lebih dari kata bajingan. Dia bahkan baru saja menikahi seorang perempuan, tapi justru menghabiskan waktu yang seharusnya menjadi malam pertama mereka bersama dirinya yang hanyalah seorang pelacur yang naik pangkat menjadi simpanan.
Membalikkan badannya ke samping, Widari menatap wajah tampan yang rasanya ingin ia hancurkan itu. Tangannya maju membentuk setengah kepalan, bersiap memberikan cakaran sebelum bulu mata panjang itu terangkat, menunjukkan netra hijaunya yang kini menyorot ke arahnya tanpa keterkejutan. Dingin dan mengintimidasi, Widari tak heran banyak orang yang takut padanya.
Widari segera menjauhkan tangannya. Tapi sepertinya pria itu lebih dulu menyadari tindakan konyolnya barusan.
Bukannya marah, pria itu justru tersenyum.
Gila memang...
"Setampan itu aku?"
Widari mengeryit, terkejut mendengar penuturan seorang yang memiliki kepercayaan setinggi langit itu. Astaga..! Apa dia berpikir jika Widari tadi hendak mengelus wajahnya...? Bodoh sekali dia.
Menghela, Widari memaksakan diri untuk tersenyum lalu menjawab pertanyaan bodoh yang keluar dari bibir tebal milik pria penuh nafsu yang tadi malam mengeluarkan kata-kata menjijikan sampai ke telinganya.
"Apapun yang tuan kehendaki. Lagipula menyela pun saya tak berhak," sopannya memberikan jawaban melalui nada ramah namun menyinggung.
Lart tergelak, beranjak dari tempat tidur lalu kembali memakai celananya yang dia lempar asal kemarin malam.
Widari hanya diam, menatap Lart yang berjalan membuka jendela kemudian menyalakan api yang keluar dari dalam logam kuning persegi, untuk membakar ujung tembakau gulungnya.
Ikut memakai bawahannya, Widari menggelung rambut panjangnya yang terurai berantakan karena ulah seseorang.
Lart segera mematikan ujung rokoknya, lalu berjalan menghampiri Widari. Digandengnya tangan gadis itu, namun saat ia melangkah, Widari masih diam di tempatnya.
"Kamu bilang akan mandi?"
"Ya... Jadi tolong lepaskan tangan saya tuan. Tidak bisakah tuan melakukannya?" tanya balik Widari menunjuk tangannya yang berada dalam genggaman tangan yang lebih besar.