19. Malam Menjadi Saksi

2.2K 173 36
                                    

Sekar menghela napas lega

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sekar menghela napas lega. Tugas sukarela yang membebaninya seharian ini, untuk menyembuhkan para pekerja paksa pribumi, akhirnya selesai di sore yang temaram itu. Namun, tugas lain menantinya. Ia harus segera menuju rumah hiburan sebelum Mbak Asri, pemilik tempat itu, memberinya teguran. Tempat itu bukan sekadar rumah hiburan biasa, tapi markas terselubung bagi gerakan bawah tanah melawan penjajahan Belanda yang dilakukan oleh pendiri tempat itu sendiri, yaitu Mbak Asri. Tak ada yang tau hal ini, bahkan para penghibur sekalipun, tak terkecuali Sekar, sebelum akhirnya dia mengetahui hal itu.

Saat melangkah keluar, matahari sudah rendah di ufuk barat, nyaris tenggelam. Sekar mempercepat langkah, namun tatapannya terhenti ketika tak sengaja melihat sosok pria yang dikenalnya. Cakara, pria misterius yang kerap datang secara diam-diam untuk bertemu dengan Mbak Asri. Ia bukan sekadar tamu; lebih dari itu, Cakara sering membawa bantuan berupa bahan pokok dan obat-obatan untuk tempat pengobatan di sini, mungkin hasil curian dari gudang-gudang persenjataan milik Belanda. Kehadiran pria itu selalu diiringi bisik-bisik konspirasi.

Tanpa ragu, Sekar mendekat. "Cakara," panggilnya, suaranya rendah namun cukup untuk menarik perhatian pria itu.

Cakara tertegun, jelas tak menyangka ada yang mengetahui namanya.

Sekar tersenyum tipis. "Tenang, aku mantan adik ipar Mbak Asri. Kita pernah bertemu sebelumnya di tempat hiburan saat kau menemui Mbak Asri," katanya dengan nada ramah, meski ada kilatan rahasia di balik matanya.

Alis Cakara terangkat, seolah mengingat sesuatu, sebelum tiba-tiba wajahnya berubah saat ia sadar siapa Sekar sebenarnya. "Ah... Kau istri dari---"

"Ssst...!" Sekar segera meletakkan telunjuk di bibirnya sendiri, mencegah Cakara mengungkapkan lebih jauh. "Jangan sebut nama itu. Jika orang lain tahu, aku bisa dalam bahaya," bisiknya

Cakara menunduk meminta maaf. "Maaf," bibirnya mengatup rapat setelahnya.

Sekar menggeleng tak masalah. "Aku hanya ingin menyapa. Kita mungkin akan sering bertemu, karena sekarang aku juga bekerja di sini," lanjut Sekar, berusaha menjaga nada ringan, meski keduanya tahu ada beban besar di balik kata-kata mereka.

Cakara tersenyum tipis, lalu mengangguk mengerti. "Sampai jumpa," ucapnya singkat, sebelum melangkah pergi, kembali tenggelam dalam bayang-bayang senja yang kian menipis.

Sekar tahu, ini bukan pertemuan biasa. Di balik percakapan mereka yang singkat, ada cerita panjang tentang perjuangan, pengkhianatan dan perlawanan yang akan segera terungkap. Sebelum matahari sepenuhnya tenggelam dan malam mengambil alih, Sekar segera melanjutkan langkahnya meninggalkan tempat itu ke tempat yang lain.
____

Di bawah cahaya rembulan yang memantul di malam dingin, Widari berdiri di teras rumah, terbenam dalam gelombang pikirannya yang seolah tak berkesudahan. Malam itu terasa sunyi, namun tak setenang hatinya. Sekali lagi, napas panjangnya terdengar, membuang beban yang seolah tak dapat dihilangkan. Ada kelegaan kecil bahwa Lart, pria yang menjadi salah satu pusat kegelisahannya, sedang tak ada di rumah. Widari tahu, Lart pasti sedang di rumah istri sahnya, meninggalkannya dalam perasaan terasing meski ia berada di rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung

BUN𝖦A PRIBUΜI |ᴅɪғғᴇʀᴇɴᴛ ʙʟᴏᴏᴅ| [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang