Setelah menyantap sarapan, mereka memulai dengan mengunjungi berbagai tempat. Diawali berjalan santai sekitar hotel yang mengarah langsung ke bibir pantai, ke tempat penangkaran penyu dan mengunjungi pura yang terletak di lereng bukit.
Airin sudah pernah kesana empat kali dan malas jika harus kesana lagi, kalau bukan karena Bian. Tapi apa salahnya datang ketempat yang sama, lagipula sekarang ia bersama orang yang spesial. Meskipun beralih profesi menjadi photografer dadakan, Airin tidak sebal. Hanya tidak pernah tidak terkejut melihat Bian yang narsis. Alhasil wajah tampan suaminya memenuhi isi galerinya.
Suana pantai cenderung sepi barangkali mereka datang bukan waktu libur panjang. Bian santai sesantai biasa, tangannya membimbing tangan Airin melewati garis pantai, menikmati deburan ombak kecil yang membasasi hingga semata kaki mereka.
"Kamu capek nggak?" tanya Bian dengan senyum tipis. "Mau time-out dulu?"
"Kamu ngeremehin aku? Kalau cuma berjalanan begini aku kuat."
Bian tertawa riang. Ditariknya tangan Airin, begitu mendadak sampai Airin tidak menduga terhuyung-huyung kedepan. Bian menyeretnya setengah berlari melintasi hamparan pasir pantai.
"Harus banget lari?" desah Airin dengan napas terengah-engah.
"Kamu bukannya nantangin?"
"Gila kamu! Bukan begitu."
"Lihat batu besar di ujung sana?" tanya Bian bergurau. "Masih kuat lari sampai sana?"
Meskipun tidak tahu persis berapa meter jarak antara batu besar itu dengan posisinya, yang jelas Airin tahu napasnya tidak akan cukup sampai kesana. Sekarang saja dadanya sudah hampir meledak! Airin mencoba mengatur napas, tapi paru-parunya masih saja engap. Umur rupanya memang tidak bisa dibohongi!
"Berhenti dulu!" Pinta Airin kewalahan seraya menghentikan langkahnya.
Tawa Bian meledak. Dijatuhkan tubuhnya ke atas pasir pantai, begitu mendadak hingga Airin ikut terjatuh, jatuh ke atas tubuh Bian. Sesaat napas mereka yang memburu saling menerpa wajah keduanya. Takut ada yang mendapati mereka. Buru-buru Airin memperbaiki posisinya, duduk di sebelah Bian.
"Mau asmaku kambuh!?"
Airin menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan udara penuh. Jantungnya berdetak lebih cepat. Keringat mengalir membasahi wajah dan tubuhnya. Sudah lama Airin tidak mengeluarkan peluh sebanyak ini, rutinitasnya di kantor jarang membuat ia melakukan aktifitas berat. Dipejamkan matanya, dirasakan darahnya mengalir dengan cepat ke seluruh tubuh. Lebih-lebih ketika Bian menyusut keringat di dahinya dengan sapu tangan tanpa permisi. Airin membuka matanya, wajahnya begitu dekat. Tatapan keduanya saling bertaut sampai Airin dapat menyelam ke dalam matanya.
Mata bening yang selalu tersenyum itu, bersorot menyejukkan. Tulus. Polos keanak-anakan. Dua tahun bersama tidak pernah mengubah perasaan Airin, sama seperti pertama kali mengenal. Degup jantungnya bukan lagi sebab berlari, berdebar mengikuti irama yang lain... Airin ingin memalingkan mukanya, menghindari tatapan yang membuatnya serbasalah itu. Namun mengapa matanya sulit berpaling?
Kesadaran menyentaknya tatkala Bian tersenyum jahil. Astaga, pikir Airin resah. Mengapa bersikap seperti gadis remaja begini?
"Gimana masih mau lanjut?" tanya Bian yang tak pernah lepas memperhatikannya. "Kayaknya seru duduk di atas batu sambil nunggu sore."
"Jalan aja nggak perlu lari."
Lagi-lagi Bian tertawa geli, keduanya bangkit. Lengan Bian merangkul pinggangnya seperti tidak ingin lepas dari istrinya. Terpaan lembut semilir angin menambah suasana makin romantis. Airin pikir hanya Bian yang naik ke atas batu besar dan ia menunggu dibawah. Justru Bian bersemangat mengajak Airin memanjat ke atas batu besar yang tingginya kurang lebih dua meter.
"Bian ngga ah!" Bantah Airin takut. Memanjat ke atas batu? Wanita seusia dia? gila apa!?
"Santai." Bujuk Bian tanpa secuil rasa takut "Jatuh paling-paling kebawah."
"Nanti kalau jatuh bagaimana."
"Di bawah pasir ini."
Tanpa perpersetujuan, Bian memegang pinggangnya sampai Airin berteriak dan menggeliat. Lalu mengayunkan tubuhnya ke atas.
"Pegang pinggir batu itu dan tahan sebentar!" Seru Bian sambil melepaskan cengkaram pada pinggangnya. "Injak telapak tangan aku."
Ketakutan Airin mencengkram tepi batu itu dengan kuat-kuat dan beberapa detik tubuhnya bergelayut sampai ia menginjak telapak tangan Bian. Dan berusaha mengayunkan tubuhnya ke atas ketika Bian mendorongnya dari bawah. Sementara Airin duduk di atas begidik takut. Bian telah berhasil naik kesisinya.
"Keren kamu Rin!"
"Sinting! Bisa-bisanya aku nikah dengan pemuda modelan begini."
"Ngga nyesel tapi kan." celetuk Bian sambil tertawa terpingkal-pingkal.
"Aku mau turun! aku takut!"
"Ada aku. Ngga perlu takut." Bian mengulurkan tangannya.
Airin cepat meraihnya seperti menemukan tali pegangan hidup. Ditariknya Airin bangun dengan hati-hati. Dituntun Airin naik ke puncak batu yang sedikit miring. Keringat dingin membasahi sekujur tubuh, selangkah demi selangkah naik mengikuti langkah Bian. Tanpa gentar Bian penuh perhatian membimbing Airin sampai di puncak batu.
Pemandangannya sangat indah. Deburan ombak memecah pantai, menggulung sebentar kemudian kembali menyeret percik pasir putih. Serabut jingga samar-samar muncul menggelayut di ufuk barat. Panorama samudra menyambut malam, duduk santai memandang ke arah laut dengan mata telanjang sungguh sangat memukau.
"Bikin foto dulu." Bian meminta Airin sedikit santai dan berpose. "Harus foto sama yang indah-indah."
Dirangkulnya bahu Airin dengan sebelah tangannya, sementara tangan lainnya mengudara mengambil gambar lewat ponsel. Dibusungkan dadanya, dipamerkan senyumnya yang paling komersial.
"Tampan sekali." puji Bian pada dirinya sendiri. "Langitnya sampai kalah indah dari kamu."
Komentar Bian membuat pipinya memanas. Melihat Airin yang salah tingkah begitu, senyum kembali menghias bibir Bian. Dirangkulnya pinggang Airin.
"Malu?" bisiknya separuh mengejek.
"Siapa yang malu?" tantang Airin dengan balas menatap Bian.
Dan tiba-tiba Airin merasakan sesuatu yang lembut... sesuatu yang basah dan hangat menyentuh bibirnya. Airin tersentak. Membeliak kaget. Wajah Bian begitu dekat, menyadari apa yang diperbuat Bian di tempat umum reflek Airin melepaskan bibirnya. Namun seketika itu tubuhnya separuh kehilangan keseimbangan, buru-buru ia memeluk Bian kembali. Sambil tersenyum Bian mengetatkan dekapannya dan mencium Airin sekali lagi. Kali ini dengan ciuman lebih hangat, lebih mesra dan kali ini Airin tidak meronta. Dikulumnya bibir manis itu dengan penuh perasaan.
Bian menghentikan sejenak ciumannya pada bibir Airin, bibirnya sama sekali tidak berjarak sejengkalpun dari bibir yang kini begitu merah akibat ciumannya. Bian menempelkan dahinya pada dahi Airin dan merasakan deru napas mereka yang saling membaur menerpa wajah.
"Ayo turun, kalau kita jatuh. Nanti ibumu marah padaku lagi." gurau Airin.
Keduanya tertawa geli, terbuai oleh hembusan lembut angin pantai membawa serta semua persoalan. Hari itu mereka benar-benar telah melupakan pertengkaran mereka.
# to be continued #
aku kembali Ahahahahha.
udh gw tulis dari kemarin cm blm kelar grgr sibuk. baru selesain hari iniii. /curcol
makasih ya gaes bwt segala dukungan. gw usahakan eps selanjutnya tidak lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi biru | BaekRene
FanfictionKisah pasangan suami-istri yang berjuang bersama melewati persoalan rumah tangga. Airin seorang istri sekaligus wanita karir, sementara suaminya Bian terpaut 5 tahun lebih muda. Semuanya terasa berbeda semenjak Airin mendapat promosi di perusahaan t...