35. Regret Always Comes And The End

132 26 32
                                    

Di dalam sisi gelap malam, suasana hening menyelimuti kamar seorang gadis bernama Ella. Terduduk sendiri di balkon kamarnya, dengan hanya cahaya remang-remang dari bintang yang memancar, Ella memegang erat sebuah pensil dan kertas di tangannya.

Dalam kegelapan dan cahaya yang sedikit menerangnya, dengan sentuhan lembut pensilnya, Ella menggambarkan sebuah adegan yang begitu mengharukan. Di atas kertas itu, tergambar jelas seorang laki-laki yang dengan telaten mengobati luka yang terdapat di lutut seorang gadis. Detail gambaran ini tak heran menyentuh hati Ella, sebab lukanya yang dalam terasa tersentuh oleh hal sederhana itu.

Sebuah motor berhenti dengan suara mesin yang redup di depan rumah Ella. Ella melihat dengan hati yang berdebar, mengenali motor itu dengan baik.

"Ngapain dia malam-malam kesini?"

"Ternyata dia masih ingat rumah gue." gadis itu tertawa renyah, dia menyimpan buku gambarnya di meja belajar.

Dalam sekejap, dia turun dari tangga dengan cepat, ingin melihat siapa yang datang. Dalam hati, Ella berharap itu adalah Jarrel. Meskipun mereka sudah tidak memiliki hubungan lagi, rasa sakit hati masih terasa dalam dirinya. Melihat Jarrel bersama Selina membuatnya merasa terluka dan sulit untuk menerima kenyataan itu sepenuhnya.

Ella membuka pagar rumahnya, dapat melihat dengan jelas cowok itu. Jarrel menatap Ella dengan mata elangnya yang penuh dengan kerinduan. Hatinya terasa terbelah antara keinginan untuk memeluk gadis di depannya dan kesadaran bahwa mereka tidak memiliki hubungan lagi.

"Gue rindu, El." perkataan yang sangat singkat namun keduanya dapat merasakan kerinduan yang sama.

"Gue gak bisa lupain lo, El. Sebanyak apapun perempuan yang gue temui di luar sana, gue tetap aja selalu ingin lo,"

"Lo pelet gue ya?" ucap Jarrel sambil terkekeh kecil. Dia menatap Ella, tubuhnya yang masih saja pendek, dengan mata lentiknya yang selalu cantik di mata Jarrel. Apapun itu tentang Ella, Jarrel menyukainya, kecuali melihat Ella bersama dengan yang lain.

"Kalau gue gak bisa miliki, lo, maka orang lain juga gak boleh, El. Gue gak rela lo sama yang lain!" Jarrel memegang kedua pipi gadis itu lalu menatap wajahnya yang memerah dengan matanya yang mulai berair.

"Lo terlalu egois. Gue gak suka, Jarrel."

"Lo tau, El? Dua tahun ini gue tersiksa banget, gue ngerasa bersalah sama lo. Karena gue, masa depan lo jadi suram, lo jadi trauma sama cowok,"

"Maaf, El, maaf, maaf, maaf...."

Ella menghapus air mata Jarrel menggunakan tangannya. Apa se menderita itu sampai-sampai cowok itu menangis didepannya. Bahkan cowok itu akan terduduk di depannya tapi Ella menahannya.

"Gak, Jarrel lo gak salah. Ini salah gue kok, udah gue maafin, please lo gak usah ngemis minta maaf kek gini."

"Gue salah Ella. Gue salah tolong maafin gue, maafin gue karena terlalu banyak berharap buat lo balik lagi sama gue," Jarrel memeluk gadis dengan erat, seakan tak ingin melepaskannya. Ella hanya mampi terdiam dan membalas pelukannya.

"Gue udah punya tunangan, kalaupun kita bersama lagi, percuma, Rel. Lo tau, hubungan yang bertahun-tahun pun, kalau gak dapat restu dari orangtua pasti gak bakal bisa bersatu."

"Walaupun lo udah jadi masa lalu gue. Gue bakal tetap ingat lo sebagai cinta pertama gue di tahun 2022." kata Ella yang mampu membuat Jarrel terdiam dengan tatapannya yang tidak pernah lepas memandang wajah gadis itu.

"Gue cinta sama lo, Rel. Tapi gue gak bisa ngelawan orang tua gue sendiri," Tambah nya lagi, namun Jarrel dengan kuat menggelengkan kepalanya, dia tidak terima dengan ucapan Ella.

"Gue mohon, El. Gue gak mau jadi masa lalu lo, gue udah cukup menderita dua tahun ini tanpa kehadiran lo!" Gadis itu menghapus air mata Jarrel dengan lembut dia tersenyum pedih, melihat Jarrel yang sangat mengemis padanya.

Dulu, Ella yang selalu mengemis pada Jarrel agar hubungan mereka terus berjalan tanpa ada kata putus. Tapi lihatlah sekarang, kini Jarrel sendiri yang bermohon-mohon agar Ella mau kembali padanya.

"Kita putus baik-baik, ya, maaf gue gak bisa balik sama lo lagi, maaf Jarrel," ucap Ella sedikit membuat jarak dengan Jarrel.

"Please, kasih gue kesempatan terakhir. Gue bakal berubah, El, gue janji gak nyembunyiin masalah apapun lagi sama lo,"

"Pembohong!" Satu kata yang keluar dari mulut itu dapat membuat perasaan Jarrel seakan melemah.

Jarrel hanya ingin Ella aman dan tidak ikut dalam masalahnya. Dia tidak mau Ella terluka karenanya, tapi Ella tidak tau cara memahami Jarrel, dan begitu juga sebaliknya. Tanpa sadar keduanya selalu saling menyakiti dengan cara masing-masing.

"Gue gak mau lo terluka karena Deril, dia itu benci banget sama gue, El. Dia gak suka liat gue bahagia, makanya dia mau ngelukain siapapun yang ada di dekat gue, termasuk orang yang gue sayang." jelas Jarrel.

"Terlambat. Gue udah tau semuanya dari Zaga, dia cerita semua tentang lo di masa lalu," ucap Ella melepas tangan Jarrel yang memegangnya.

Udara malam yang begitu dingin membuatnya memeluk dirinya sendiri dengan kedua tangannya. Jarrel yang melihat itu segera membuka jaketnya dan memberikannya kepada Ella untuk ia pakai.

"Aku gak mau lagi maksa kamu buat balik sama aku, tapi kapanpun kamu butuh, aku akan selalu ada," ini pertama kalinya Jarrel menggunakan kata aku-kamu.

Jarrel meraih tangan Ella untuk yang terakhir kalinya, lalu berucap dengan suaranya yang pelan. "I love you, and you are the last person i love,"

"And, i will try not to love you anymore." balas gadis itu dengan pelan melepaskan tangan Jarrel.

"That's okay. Setidaknya aku beruntung bisa mengenal mu, tapi dia lebih beruntung bisa memiliki mu." ucap Jarrel tersenyum masam.

Ella tersenyum kecil dan kembali masuk ke rumah tanpa berkata sepatah kata pun. Jarrel melihatnya hingga gadis itu benar-benar masuk ke dalam rumah sebelum pergi.

Selama perjalanan yang sepi, Jarrel membawa motor melaju dengan kecepatan yang hampir tak berarti. Di dalam kesendirian itu, ia merenungi setiap langkah dan keputusan yang telah ia ambil. Penyesalan selalu mengejarnya di akhir garis finish, seperti bayangan yang tak pernah lepas darinya.

Jarrel merasa menyesal. Dia menyadari bahwa selama ini ia selalu mencari pelarian dari masalah, berlari tanpa tujuan yang pasti. Kesalahannya yang terbesar adalah ketika ia memutuskan Ella tanpa alasan yang jelas, merobek hati sang gadis tanpa ampun.

Jarrel sadar bahwa meskipun ia menyesal dan ingin memperbaiki segalanya, ia tidak bisa memaksa Ella untuk kembali padanya. Ini adalah konsekuensi dari kesalahannya sendiri, dari ketidakmampuannya menghadapi masalah dan mengelak dari tanggung jawabnya.

Ella, yang menyaksikan langkah Jarrel menjauh, tanpa bisa menahan senyum sedih di wajahnya. Hatinya hancur, tak mampu menahan derasnya aliran air mata yang tak terbendung. Terduduk rapat di pojok ruangan kamarnya, Ella memeluk erat kedua lututnya sambil menenggelamkan wajah dalam keputusasaan yang mendalam.

Mungkin, inilah pertemuan terakhir mereka yang harus Ella sadari. Ella menghela nafas panjang, mencoba meredakan rasa sakit yang melanda hatinya. Meski sulit, ia sadar bahwa langkah Jarrel adalah pilihan terbaik baginya. Dan dengan berat hati, Ella mengikhlaskan kepergian Jarrel, meski luka di hatinya masih menyakitkan.

Dia mengetahui bahwa takdir telah memisahkan mereka, dan meskipun tak mampu melupakan Jarrel, Ella mengikuti keputusan orangtuanya dan memilih untuk tidak melawan takdir yang telah diatur, termasuk membatalkan perjodohannya dengan Izar. Sesungguhnya, cinta bukan hanya tentang memiliki, melainkan juga melepaskan.




~~~ END ~~~

Our Beloved Memories Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang