5

258 25 3
                                    


Hari ini Arbian kembali pulang dalam keadaan lelah, kegiatannya terus berputar entah dari sekolah, bekerja hingga malam nongkrong kemudian belajar malam kadang Arbian pun masih sering menemani mamanya jika sedang dalam keadaan depresinya lagi.

Tapi akhir-akhir ini Arbian tidak lagi menemani mamanya karena kondisi mamanya nampak sehat tidak seperti malam panjang yang sering Arbian lihat yaitu sisi rapuh mamanya.

Selesai memarkirkan motornya, Arbian berjalan masuk ke rumah berniat mengecek kondisi mamanya terlebih dahulu.

Saat ingin mengetuk pintu kamar mamanya Arbian mendengar suara seseorang sedang berbicara di dalam.

"Givan selalu seperti ini saja ya sayang? Temenin Mama terus."

"Tapi Givan harus kerja Ma..."

"Jangan kerja, Givan di sini saja.. nanti Mama sendirian lagi, nggak enak tinggal di kamar sunyi sendiri."

"Bukannya selama ini Bian selalu nemenin Mama kan?!"

"Nggak! Mama nggak sudi di temenin sama anak itu, kalaupun dia nemenin Mama pasti udah Mama usir di kamar."

"Jangan gitu Ma, Bian juga anak Mama."

"Anak Mama cuman Givan seorang, hanya Givan kesayangannya Mama."

"Ma..."

Arbian tersenyum kecut mendengar ucapan mamanya, tangan yang tadinya ingin mengetuk seketika menurun. "Mama Bian juga anak Mama." lirih Arbian berjalan lesu menuju ke kamarnya.

Dengan gontai Arbian berjalan di lorong sepi kemudian memilih duduk di lantai dingin, kepala Arbian tenggelam dalam lipatan kakinya.

"Ma.. sakit jangan ngomong kayak gitu lagi! Bian dengernya sakit." ucap Arbian memukul-mukul pelan dadanya melampiaskan rasa sakitnya.

"Bian..." ucap seseorang datang menghentikan aksi Arbian.

"Gila lo? Ngapain nyakitin diri lo sendiri." marah Givan memegangi tangan Arbian, saat pandangan mereka bertemu Givan bisa melihat sorot luka di mata itu seketika dia melepaskan tangannya.

"Bian? lo okey.."

Tidak ada jawaban dari Arbian justru anak itu mengalihkan pandangannya.

Givan hanya tersenyum lirih ikut duduk di sebelah Arbian, melirik kearah Arbian yang terlihat tak ada luka di tubuhnya membuat Givan lega.

"Lo udah sadar bang?!"

"Maksud lo?"

"Hm, lo udah sadar bawa Mama itu nggak bersalah?"

Terkekeh pelan Givan mengambil sesuatu di sakunya, "Gue selalu sadar kali Ar."

"Terus kenapa selama ini lo selalu menghindari Mama?"

"Karena gue dulu nggak bisa lihat Mama teriak-teriak ataupun menderita, gue nggak akan kuat Ar. Tapi setelah mendengar ucapan lo tempo hari gue mulai sadar dan mencoba mendekati Mama, ternyata ucapan lo benar Mama nggak teriak waktu ketemu gue tapi langsung meluk gue, bahkan dia nggak lempar-lempar barang apalagi lukain dirinya sendiri, dia justru kasih gue ini Ar." Givan memperlihatkan sebuah gelang yang terlihat cantik dengan hiasan bintang kecil.

"Gue iri sama lo Bang."

Tidak ada jawaban dari Gavin karena dia sendiri bingung harus menjawab apa, dia hanya bisa mengusap rambut Arbian sambil menyodorkan gelangnya tadi.

"Buat lo."

"Cantik!" Arbian menatap lamat gelang tersebut pandangannya entah kenapa menyeduh perasaannya bingung antara sedih atau senang, kenapa dia yang sudah menemani mamanya bertahun-tahun justru tidak pernah di lihat sama sekali.

Mom, I'm SorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang