6

199 20 2
                                    

"Lo sebenarnya kenapa?! Gak biasanya lo datang ke kos gue!" tanya penasaran Raffa memandang Arbian yang saat ini terduduk di atas kasur lantainya.

Pandangan Arbian menyedu, lalu dia melepaskan jaket yang sedari tadi tidak dia lepas sama sekali. Melihat itu Raffa kaget karena tangan Arbian penuh dengan luka gores.

"Tangan lo luka lagi?" marah Raffa segera berjalan ke arah laci nya kemudian mengambil obat merah dan menarik tangan Arbian yang saat ini gemeter.

Entah apa yang di terjadi dengan Arbian, Raffa sebenarnya ingin bertanya. Tapi anak itu saat ini menunduk dan tidak memperlihatkan wajahnya, "Jawab gue Ar? Lo kenapa?" ujar Raffa selesai mengobati tangan Arbian.

"M-Mama pu-pukul gue lagi Raf." ucap gemeter Arbian memukul-mukul kepalanya agar ingatan di masalalu tidak kembali menerobos masuk lagi.

Mengetahui itu dengan cepat Raffa menenangkan Arbian, "Tenang Ar!"

"Gue ta-takut banget waktu itu, gue takut cacat lagi..." gumam Arbian menarik rambutnya sendiri, menghilang rasa sakit di kepalanya.

Raffa mencoba melepaskan tangan Arbian dia membaringkan tubuh Arbian di kasurnya, sambil berusaha menenangkan Arbian yang saat ini melukai dirinya sendiri.

Sebenarnya Arbian dan mamanya tidak jauh berbeda, mereka sama-sama trauma. Bedanya Arbian pandai menyembunyikan bertahun-tahun sedangkan Angelina tidak, Arbian merasa dirinya tak cocok mengalami hal seperti itu karena menurutnya di sini dia lah penjahatnya dia yang membuat mamanya menjadi sosok seperti itu.

"Gue udah bilang jauhi Mama gila lo itu." seru Raffa mengambil ponsel di meja lalu mencari nama kontak yang sudah lama tidak dia hubungi lagi.

"Halo?" sapa seseorang di sebrang sana setelah telepon berhasil di angkat.

"Bang El bisa datang ke kos gue gak? Arbian kumat lagi." ucap panik Raffa memegangi tangan Arbian yang ingin melukai dirinya sendiri.

"Ah, astaga gue kesana sekarang." ucap panik orang tersebut yang tadi di panggil El oleh Raffa.

"Gue mohon tenangin diri lo Bian!" kata Raffa, sejujurnya dia bingung harus melakukan apa! Karena satu-satunnya yang bisa dia lakukan adalah berusaha menjaga Arbian agar tidak melukai dirinya sendiri.

"Ta-takut." gumam lirih Arbian, pandangannya kosong kepalanya pun sekarang pusing bukan main, semua ingatan datang seperti kaset rusak.

"Mama maaf jangan pukul Bian! Sakit berhenti."

"Wanita sialan!" lirih Raffa melihat keadaan Arbian yang saat ini kacau dan tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri, tapi meskipun dia terlihat sangat benci dengan wanita itu Raffa jauh lebih benci dengan Arbian yang masih saja mendekati sosok yang membuatnya trauma, sosok yang membuat mata sebelah kiri Arbian buta.

"Raffa, to-tolong... badan Bian sakit.." ringkis Arbian meringkuk.

Merasa tak beres Raffa mencoba membuka kaos hitam yang di pakai Arbian saat ini, dan benar saja terdapat luka cambuk di punggung Arbian jangan lupakan luka itu masih terlihat basah dan baru.

"Sialan, sialan." emosi Raffa semakin naik melihat tubuh sahabatnya justru kembali terluka lagi. Dengan cepat dia membuka kaos Arbian, mencoba mengobati luka cambuk tersebut.

Saat tangannya ingin mengoleskan salep ketukan pintu terdengar membuat Raffa urung.

Tok!

Tok!

"Masuk aja Bang." teriak Raffa membuat orang yang di luar mendengarnya seketika masuk.

"Raffa!" seru Elba Argantra, seorang dokter psikolog yang sudah kenal dekat dengan Raffa dan juga Arbian, dokter yang berusia 28 tahun itu sudah sangat kenal betul dengan keadaan Raffa dan juga Arbian karena mereka dulu sering sekali bertemu, tapi karena akhir-akhir ini keadaan Arbian membaik membuat mereka tidak lagi bertemu.

Mengetahui Arbian kembali trauma membuat Elba merasa heran dan juga panik, untungnya jadwalnya saat ini kosong sehingga dia bisa dengan cepat datang ke kos Raffa.

"Bian kenapa bisa gini lagi?!" ucap Elba mengambil peralatan doker nya dulu lalu mengobati luka punggung Arbian, tangannya mengusap keringat yang ada di dahi Arbian sambil mengelus kerutan Arbian.

"Bian ini Bang Elba ingat!" ucap lembut Elba sambil berusaha menenangkan Arbian, tangannya tak berhenti mengelus dahi Arbian yang saat berkeringat.

Raffa yang melihat itu memilih mundur menyiapkan minuman untuk Elba, semuanya dia percayakan kepada Elba.

"Dengerin Bang El, nggak akan terjadi sesuatu sama Bian ada Abang yang lindungi jadi tenangin diri Bian ya?"

"Bang, takut... badan Bian sakit, semuanya sakit." racau Arbian mencengkram baju putih Elba.

"Gapapa semuanya akan baik-baik saja ada Bang El yang nyembuhin Bian! Jadi sekarang Bian tarik napas dalam-dalam, ingat kalau Bian nggak sendiri, masih ada Abang, Raffa dan teman-teman Bian yang lain." Elba terus memberikan ucapan penenang ke Arbian, agar anak itu bisa mengendalikan dirinya terlebih dahulu.

Arbian mengikuti intruksi tersebut dia menarik napasnya dalam-dalam, tapi meskipun sudah begitu semua semakin sulit dia terkendali kan memorinya bercampur menjadi satu membuat Arbian justru tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri.

"ARGGHHH."

Teriakan Arbian terdengar dia mencengkram kepalanya dengan kuat berusaha menghilang rasa sakit di kepalanya.

Elba yang melihat itu seketika panik, dia berusaha melepaskan tapi tenaga Arbian entah kenapa menjadi besar. "RAFFA TOLONGIN ABANG." teriak Elba meminta bantuan ke Raffa.

"Kenapa Bang!" panik Raffa datang dari arah dapur.

"Tolong pegangin Bian." kata Elba membuat Raffa dengan cepat menahan tangan Arbian.

"Tahan Raff." cemas Elba mengambil suntikan di dalam tasnya.

"Bang cepetan!"

"Sabar Raf," ucap Elba setelah menyiapkan suntikan nya kemudian dia mengarahkan kearah leher Arbian membuat anak itu yang tadinya memberontak sekita lemas.

Raffa menghelas napas lega. Pandangannya menyorot kearah Elba yang saat ini merapihkan kondisi Arbian tengkurap karena lukanya, tangannya mengelus rambut berantakan Arbian lalu memposisikan tubuh Arbian agar tidak sakit ketika tidur.

"Dia akan demam saat bangun." lirih Elba menatap wajah Raffa.

"Bang gue takut Bian ga bisa nenangin dirinya lagi." ucap Raffa sendu.

"Hubungi gue kalau Bian kembali kayak tadi yang perlu lo lakukan kompres dia dan jaga luka yang ada di punggungnya gue takut nanti itu infeksi."

Raffa mengangguk paham, "Kenapa Bian bisa kayak gini lagi?" tanya Elba memasukkan peralatannya.

"Padahal waktu kelas satu SMP dulu dia bener-bener trauma sekali tapi justru sekarang trauma nya kembali. Bahkan anak itu harus kehilangan satu matanya." lanjut Elba mengingat kenangannya di masalalu saat menemukan Arbian dan Raffa dan keadaan kacau.

"Hm, kelas dua SMP dia udah membaik Bang karena mamanya udah gak kumat lagi. Mungkin Bian cuma di lukai antara tangan nggak sampai di cambuk kayak gini tapi gue gak tau kenapa tuh orang gila bikin di cambuk lagi." kesal Raffa.

"Kenapa lo ga bilang ke Abangnya Gavin atau Om nya itu sih? Setau gue mereka baik."

"Bian gak mau ngerepotin mereka lagi! Dia ngerasa udah jadi beban dengan numpang dia sana makannya ga bilang. Padahal dia udah gue tawarin tinggal bareng tapi masih aja ngeyel di sana alasan buat menemani mamanya itu."

"Gue ga habis pikir sama Bian." ucap Elba memijat pelipis kepalanya.

"Apalagi gue yang udah kenal dari kecil, heran se-ingin itu kah dia biar dapet kasih sayang wanita itu."

"Dia menyembuhkan trauma mamanya, tapi dia tidak bisa menyembuhkan trauma nya sendiri." kata Elba memandang wajah damai Arbian.

..

Mom, I'm SorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang