"Kenapa." tanya Arbian sambil mengusap keringat di dahinya.
"Gue bingung." ujar Raffa memandang kosong kearah depan, penampilan ya berantakan dengan kaos kusut dan juga celana pendek berwarna hitam dan rambut acak-acakan semakin membuat Arbian yakin jika Raffa ada masalah.
"Bingung kenapa?!" jawab Arbian meminum-minuman kaleng yang tinggal setengah di tangannya. Merasa habis dia membuang kaleng itu di tong sampah dekat mereka duduk.
"Lo tau kan dari kecil gue hidup sendiri, bener-bener sendiri." gumam Raffa yang masih di dengar oleh Arbian dengan cepat dia membalas dengan anggukan.
"Lalu?" ujar Arbian sekali lagi, matanya menelusuri jalanan yang ramai di depannya.
"Dan, mereka kembali Ar."
"Hah?!" tanya Arbian menegakkan tubuhnya.
"Orang tua kembali, dengan gak tau dirinya." lirih Raffa mengusap kasar rambutnya.
"Maksud lo mereka datang nemuin lo? Bukannya mereka udah cerai?" tanya Arbian memandang temannya.
"Emang! Yang datang Papa gue doang, sedangkan Mama gue nggak. Tapi yang bikin gue mau nangis dia datang dengan keluarga barunya." ucap Raffa, pikirannya kosong dia tidak bisa berpikir menerima kenyataan semua itu. Walaupun Raffa sudah menduga bukan berarti dia siap.
"Ngapain mereka datang?!" ucap datar Arbian. Dia tidak akan membiarkan Raffa kembali di sakiti.
"Ngajak gue!" jawab Raffa, mengusap kasar air matanya yang tiba-tiba menetes tanpa dia cegah.
Mereka hening beberapa saat, tidak ada yang bicara baik Raffa maupun Arbian. Karena sejujurnya Arbian sendiri bingung ingin menjawab apa, dia takut salah berbicara sehingga semakin membuat Raffa tidak nyaman. Kedatangan Orang tua Raffa saja sudah membuat Arbian terkejut bukan main, bagaimana bisa mereka yang benar-benar tidak ada kabar sama sekali justru kembali tanpa rasa bersalah! Sebenarnya di mana letak harga diri mereka itu.
"Gimana perasaan lo?" tanya Arbian setelah sekian lama dia.
"Kacau." balas Raffa.
"Gue ga bisa ngomongin banyak Raf, tapi yang pasti ikuti kata hati lo. Gue paham jadi lo sakit, ga muda kan ngelewatin hidup sendiri tanpa ada orang tua di samping lo buat menemani, jadi gue gak hakimi lo doang. Tapi ambil sisi lainnya juga ya? Jangan termakan sama rasa ego sendiri, tanya baik-baik ke mereka kenapa ninggalin lo sendiri tanpa ada kabar!" ucap panjang lebar Arbian mengusap punggung temannya.
Raffa memang anak yang terbilang bermulut pedas, tapi kepribadian itu muncul karena lingkungan hidupnya. Dia hidup sendiri di rmah yang di tinggalkan orang tua nya tanpa ada orang siapapun. Bahkan saat pertama kali Arbian mengenal Raffa dari waktu sekolah dasar dia bisa langsung paham jika anak itu sebenarnya sakit, tapi di tutup dengan wajah sinis nya.
Maka dari itu Arbian tidak menyukai jika temannya itu kembali di sakitin, oleh siapapun termasuk orang tua nya sekalipun.
"Gue coba Ar." gumam Raffa.
..
"Kenapa jarum ujungnya lancip?" tanya Biru sambil memakan pentol yang ada di tangannya, mukanya dengan tengil menyenggol tubuh Raffa yang sedari tadi diam tidak seperti biasanya.
"Kenapa?" jawab malas Raffa.
"Karena kalau ujungnya teman itu kan kita." kekeh Biru.
"Dih?" sewot Raffa mendorong Biru hingga jatuh di tanah.
"Diem deh! jangan malu-maluin." jengkal Zen memukul bahu Biru hingga membuat anak itu mengaduh kesakitan.
"KDRT." ucap keras Biru membuat semua orang yang tadinya tidak fokus ke mereka seketika mengalihkan perhatian ke arah mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mom, I'm Sorry
Teen Fiction"Dia memang lelaki cacat, tapi dia adalah sosok yang sempurna untuk Ibunya." Arbian Kavidra, seorang pemuda cacat yang hanya memiliki satu mata saja. Dengan senyum yang selalu dia tampilkan tidak ada tahu seberapa banyak Arbian menyimpan luka di da...