13

202 18 2
                                    


"Kok lo bisa kayak gini si Ar?" napas Raffa pendek dan cepat, matanya melebar saat mengetahui kondisi sahabatnya sangat parah. Saat sedang santai di rumah dia di kagetkan dengan nomer telepon asing dengan cepat langsung mengangkatnya.

Mengetahui jika si penelepon mengatakan jika sahabatnya kecelakaan membuat jantungnya berdenyut kencang.

Arbian belum sadar sejak lima belas menit tadi saat Raffa datang, yang lain pun belum ada di ruangan itu.

"Ar, bangun." sendu Raffa memandang wajah sahabatnya itu, terdapat alat medis yang terpasang di dada Arbian akibat hantaman keras, lalu kaki dan tangan patah dan juga wajah babak belur.

Yang membuat Raffa curiga kenapa bisa wajah Arbian lembab padahal dia kecelakaan bukan di pukul.

"BIAN! LO GAPAPA?" teriak Biru datang menendang pintu membuat Raffa yang tadinya melamun setrika tersentak kaget.

"Ajir, ini rumah sakit Ru tenang dikit Goblok!" ujar Zen menggeplak Biru membuat anak itu mengaduh kesakitan.

"Sorry gue khawatir!"

"Gimana kondisi Bian?" tanya Rey mendekati brangsal.

"Dia belum sadar dari tadi." gumam Raffa membuat mereka langsung fokus kearah Arbian yang terlihat sangat kacau.

"Gimana bisa dia lembab kayak gini? Kata lo Bian kecelakaan? Gak mungkin kan kecelakaan bisa munculin bekas pukulan kayak gini." alis Biru menukik tajam, matanya terus mengamati tubuh Arbian.

"Gue ga tau."

"Udah diem jangan berisik, nanti Bian keganggu biarin istirahat. Kita tanya waktu dia sadar."

..

"Biannnn!" ucap Biru dengan bibir bergetar, merasa terharu karena Arbian akhirnya sadar.

"Gue, ga-gapapa." Arbian menggulum senyum, meskipun dia harus berbicara terbata-bata karena rongga paru-paru nya terasa sesak.

"Kenapa lo bisa kayak gini sih?" tanya Zen menggerutu.

"Udah nasib!" gurau Arbian mencairkan suasana agar tidak menjadi sedih, dia tidak suka dengan suasana seperti ini.

"Ga usah boong, lo kenapa bisa kecelakaan? Ada yang dorong kan?"

"Nggak, gue yang sa-salah, gak liat jalan." Arbian menarik napas panjang, mengisi paru-paru yang tiba-tiba terasa sesak.

"Semuanya di rencanain kan?" tanya Rey seraya bertopang dagu.

"Udah kayak di drama aja.." kekeh Arbian sambil memandang sekitar ruangan.

"Gue ga punya musuh kali, gi-gimana bisa di rencanain semua ini murni ke-kecelakan. Uhuk!" lanjutnya di sertai batuk, napas Arbian terengah-engah karena sulit sekali berbicara.

"Udah woi, jangan di ajak ngomong Bian nya. Nanti dia kehabisan napas, biarin istirahat." ucap Biru menggerutu.

Raffa mendekati brangsal Arbian kemudian tangannya terkepal erat sampai telapak tangannya memutih.

"Ada, lo ada musuh." ujar Raffa.

"Udah Raf, Ajir." kata Biru mendorong tubuh Raffa namun langsung di tepis.

"Katakan sejujurnya Bian, orang yang nyelakain lo Alex kan?"

"Hah? Alex siapa please?" ucap Biru dengan mata membelalak.

"Mohon maaf! Ini sudah malam waktu berkunjung sudah selesai terlebih lagi pasien saat ini dalam keadaan belum sembuh total jadi saya mohon jangan terlalu di ajak bicara karena bisa menganggu ketenangan pasien." ucap dokter datang dengan satu perawat di belakangnya, guna untuk mengecek keadaan pasiennya.

Mom, I'm SorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang