SEPULUH

73 9 12
                                    

Heeseung baru saja menyimpan payung yang dia gunakan dari halaman depan ketika keluar dari mobil hingga masuk ke rumah. Hujan sore ini lumayan deras, bahkan gerimisnya sudah turun sejak pagi.

Riki dalam gendongannya sudah dipakaikan satu set pakaian berbahan tebal plus jaket dan kupluk, kaos kaki mungil yang membalut kaki-kaki lincahnya sudah hilang sebelah.

Rencana pulang pukul empat batal demi mencari sebelah kaos kaki yang baru dibeli tadi pagi di perjalanan menuju kantor. Sedang Riki kini asyik tertidur.

Heeseung sudah memakai sandal rumahnya. Lelaki 27 tahun itu memegangi dadanya yang terasa berhenti berdetak saking terkejutnya.

Rei berlari dari kamarnya dengan penampilan yang em- bagaimana mendeskripsikan apa yang dilihat Heeseung saat ini, ya?

Rei muncul dengan menggunakan one set pakaian agak terbuka motif kotak-kotak kecil warna peach -celana sepaha, atasan tanpa lengan terlihat 'baru' untuk Rei bagi Heeseung-.

Kontras dengan surai hitam kecoklatan yang dikepang tidak rapih dan di letak di pundak bagian kanan. Dan, oh, riasan menor apa ini?

Bulu mata palsu cetar dipasang miring, alis digambar tebal sebelah. Jangan lupakan eyeshadow warna cokelat yang terlalu tebal, blush on warna merah yang bulat dan lagi-lagi tidak rata.

Lip produk warna nude yang membuat hasil make up Rei begitu buruk untuk dilihat. Entah apa yang merasuki wanita ini.

"Apa aku terlihat bagus?" pertanyaan itu diutarakan dengan begitu antusias, wajah Rei menunjukkan seberapa berusaha dirinya dan saat ini menunggu respon sang suami.

"Kamu belajar berhias? Ini sudah bagus," balas Heeseung, meringis melihat fondation tak rata di bagian dagu istrinya.

Heeseung meminta Rei kembali ke kamar, sementara dirinya menidurkan Riki di kamar tamu biasa, sembari menenangkan diri untuk menghadapi Rei yang tampak berbeda.

Heeseung memasuki kamar yang ternyata sangat menyengat aroma parfum wanita milik Rei. Alat-alat make up berserakan di meja rias dengan kardus dan plastik pembungkus bekas di bawah meja. Satu lagi, satu botol dengan cairan kental warna kulit tampak pecah di lantai kamar.

Ada apa sebenarnya?

"Fondation-nya sulit sekali dibuka. Karena kesal, aku lempar saja. Ternyata itu botol kaca, dan ya, pecah," jelas Rei tanpa ditanya.

"Kamu pakai produk yang sudah jatuh?" tanya Heeseung khawatir.

Gelengan yang diberikan Rei membuat Heeseung menghela nafas lega. "Enggak. Aku ambil di sini." Rei menunjukkan pecahan yang cukup besar dan masih menampung banyak produk fondation tersebut.

Heeseung duduk di ujung ranjang, sementara Rei duduk di kursi yang menghadap meja rias yang berantakan.

"Aku beli beberapa produk kecantikan. Aku pikir, aku harus mulai peduli dengan penampilanku. Apa sekarang.. aku cantik?" tanya Rei, wajahnya memerhatikan pantulan dirinya sendiri di cermin yang juga menampilkan Heeseung yang menatapnya tanpa berpaling.

"Kamu selalu cantik," balas Heeseung setelah cukup lama.

"Apa dengan ini, Kakak gak akan berpaling lagi?" Pertanyaan itu menghunus begitu dalam ke hati Heeseung.

"Biar Kakak bersihin ini dulu." Heeseung keluar dari kamar untuk mengambil pengki kecil serta sapunya, tak lupa lap setengah basah.

Saat kembali ke kamar, Rei tidak di meja riasnya, mungkin ke toilet. Heeseung dengan hati yang kacau menyapu pecahan beling tersebut, kemudian menh-lap ceceran produk kecantikan tersebut.

Sebelum fokusnya teralihkan pada ponsel milik Rei yang sudah sangat lama tidak dilihatnya dalam keadaan diisi daya di lantai. Heeseung meraih ponsel keluaran empat tahun lalu itu.

Membuka ponsel tanpa dipasang keamanan apapun itu. Agak terkejut disuguhi foto Karina yang di-zoom di bagian mata dan pipi. Apa.. Rei mencoba meniru riasan Karina?

Heeseung mengembalikan ponsel tersebut ke tampilan layar awal, kemudian secara tidak sengaja menyentuh pop up pesan yang belum terbaca dari nomor tidak tersimpan.

Kembali terkejut melihat puluhan pesan berisi caci maki yang ditunjukkan kepada Rei. Semua pesan dalam keadaan telah dibaca. Karena terlanjur melihat pesan-pesan itu, Heeseung yang penasaran menge-cek profil yang tertera.

Ibu Karina!

Sial.

Belum lagi pesan-pesan dari Ibunya sendiri -Ibu Heeseung- yang semua telah terbaca. Isinya sama, caci maki untuk Rei atas dasar ketidakmauan Rei menerima Riki.

Bahkan Ibunya masih saja membahas Rei yang tidak bisa memiliki anak dari rahimnya sendiri.

Keterlaluan.

Heeseung menyimpan ponsel itu dengan nyeri di dadanya. Sesak, luar biasa sesak. Mungkin tidak seberapa dengan sakit yang dirasakan Rei.

Lebih sakit lagi mengingat dirinya tidak pernah tahu dengan pesan-pesan itu selain hari. Rasa sakit apa yang terus menghantui Rei setiap harinya setelah kebenaran yang ada.

Heeseung memandang dirinya di cermin, memperlihatkan seorang suami paling tidak berguna di dunia. Ya, Lee Heeseung pantas disebut bajingan ulung setelah ini.

Rei berdiri di depan pintu kamar mandi, wajahnya basah dan separuh make up tebalnya sudah terhapus. "Aku jelek ya? Kenapa gak jujur?" tanya Rei, lirih.

Kaki kurusnya mendekat ke arah Heeseung. Pakaiannya sudah berganti dengan satu set pakaian tidur panjang khas Rei. Tanpa menjawab apapun, Heeseung tarik tubuh itu ke dalam pelukannya.

Begitu erat seakan berniat meremukkan tulang-tulang sisa penyangga Rei. Tangisan Heeseung memenuhi ruangan, sementara Rei hanya memandang pantulan keduanya di cermin dalam diam.

Melirik ponselnya yang berada di atas meja dalam keadaan menyala. Mungkin Heeseung sudah membaca pesan-pesan menyesakkan itu.

"Kenapa mereka jahat sekali ya sama aku, Kak?" lirih Rei.

"Aku tahu, aku gak secantik Karina, gak semenarik dia. Langit dan bumi. Aku gak seberuntung dia yang bisa punya anak dan mengandung serta melahirkan anak kamu. Tapi.. apa semua itu salah aku Kak?"

"Kenapa?"

"Kenapa jadi kayak gini? Kenapa harus aku?"

Rei teramat kacau. Batinnya ditekan secara terus-menerus. Kecupan di pipi dan kening yang dia dapatkan tak lagi memberi tenang. Yang ada membuat hatinya kian nyeri.

"Aku menyerah saja, ya?" Gelengan brutal dari Heeseung adalah penolakan keras atas pertanyaan yang diajukan Rei.

"Tapi mereka benar. Aku egois, Riki gak bersalah. Dia memang bukan anakku, tapi dia tetap putramu. Biar aku yang pergi saja," pinta Rei yang tentu ditolak keras oleh Heeseung yang masih mendekapnya.

"Kita sudah sejauh ini, kenapa kamu mau menyerah?" tuntut Heeseung, membuat batin Rei lagi dan lagi menjerit.

"Aku capek."

"Kak Heeseung, aku capek!"

Tubuh keduanya merosot. Tak lagi kuat untuk saling menopang.

"Tolong, Kak. Rasa sakit ini, lama-lama bunuh aku! Capek! Sakit!" Raung Rei. Tidak lagi sanggup menyembunyikan semua rasa sakitnya di balik ketegaran. "Aku gak kuat," lirihnya.

"Sudah.. tolong, aku gak sekuat itu, Kak." Tangisan Rei terdengar bagai gesekan kaca dan besi, memekakkan dan mencipta linu yang tidak diketahui obatnya.

"Harus dengan cara apa Kakak yakinin kamu kalau semua bakal kembali seperti semula. Tapi tolong, tetap sama Kakak," pinta Heeseung, ikut frustasi.

"Gak ada yang bisa kembali seperti semula. Kakak yang sudah bikin ini berantakan!"

***
Tarik nafas, bye, digantung nangisnya.

Ehehehe..

Tidak ih, saya double up kok. Ingatkan saja!






























Bersambung...

Dari Titik Nol | Rei × Heeseung [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang