TIGA PULUH SATU

66 6 18
                                    

Wonyoung menghentikan kegiatan mengunyah makanannya setelah mendengar Rei mengutarakan pertanyaan barusan.

Buru-buru perempuan itu telan apa yang ada di mulutnya. Namun, belum sempat menjawab, dering ponsel milik Wonyoung membuyarkan semuanya.

Nomor tidak dikenal.

Sebuah nomor yang sudah Wonyoung hafal di luar kepala. Nomor milik si Dia yang memang sengaja tidak disimpan. Perempuan itu membalikkan ponselnya setelah menekan satu tombol.

Rei di sebelahnya melirik. "Kamu tolak teleponnya? Gimana kalau orang penting? Pasien mungkin?" tanya Rei, perempuan itu tidak menunjukkan keberadaan kebingungannya belum dijawab.

"Bukan, aku punya dua nomor. Yang ini masuk ke nomor utama, selama gak ada konfirmasi dulu lewat chat, aku selalu tolak telepon," jelas Wonyoung.

Rei mengangguk saja.

"Oh iya, soal pertanyaan kamu tadi. Gimana kalau ngobrol di dalam? Mungkin akan sedikit, ya, mendalam? Biar nyaman. Sekalian, biar kita makin dekat juga," tawar Wonyoung.

Rei tampak berpikir. "Emang gapapa? Di dalam 'kan langsung kamar kalian, itu privasi banget loh," tanya Rei, tidak enak.

"Gapapa, enggak ada yang aneh juga kok. Duduk di lantainya saja gitu, yuk," ajak Wonyoung.

Dengan bantuan Rei, keduanya masuk beserta makanan plus minum beserta laptop, juga handphone masing-masing.

Isi kontrakan Wonyoung dan Sunghoon tidak jauh berbeda. Hanya saja, tidak ada rajang melainkan langsung kasur dengan ukuran lebih kecil. Di setiap celah ada saja barang yang tidak begitu Rei mengerti -kenapa mereka membeli barang itu?-.

Keduanya duduk di lantai. Laptop sudah di tutup, agar pembicaraan mereka jadi lebih fokus.

"Jadi, gimana? Kenapa kamu berpikir atau merasa begitu?" tanya Wonyoung. Rei merasa seperti benar-benar berkonsultasi dengan Psikiater profesional.

Rei menghembuskan nafasnya terkesan berat. "Aku gak tahu, tapi aku ngerasa sering dipantau kalau lagi sendiri, atau ya, setidaknya kalau lagi gak sama Kak Heeseung," jawab Rei.

Wonyoung mengangguk saja. "Bukan perasaanmu Rei, memang ada yang terus memantau kamu," ucap Wonyoung dalam hati.

"Sejak kapan?" Wonyoung meneruskan tanya-jawab dadakannya.

Rei terlihat mencoba mengingat-ingat kembali. "Mungkin.. Sejak SMA, dan aku merasa jadi lebih intens setelah berpacaran dengan Kak Heeseung."

"Berarti sudah sangat lama, ya? Kamu sendiri merasanya bagaimana? Takut? Tidak nyaman? Atau apa?"

"Em.. Pertama kali merasa benar-benar diperhatikan dari jauh, aku tentu takut Wony. Kali kedua, ketiga, aku gak nyaman. Tapi, entah kenapa, lama kelamaan aku merasa itu bukan hal buruk..

Dibanding merasa terancam, aku justru merasa dilindungi setelahnya.

Karena perasaan dipantau itu kerap muncul ketika aku lagi sendiri. Misal, kalau lagi gak bisa diantar pulang Kak Heeseung, kalau lagi naik bus sendirian tanpa teman dekat. Aku merasa..

Aman."

Wonyoung bisa merasakan hatinya menghangat. Lelaki itu, dasar.

"Lalu? Ada lagi?" pancing Wonyoung, dirinya belum ingin menyahuti.

"Aku ingat betul, pulang kelas malam waktu semester 4 kuliah. Kak Heeseung lagi sakit, dia gak bisa jemput aku. Akhirnya aku harus pulang sendiri, karena gak mau repotin orang tua juga.

Dan kamu harus tahu yang lebih buruknya, malam itu hujan. Aku gak bawa payung dan lagi-lagi gak begitu punya teman.

Metromini atau angkot gak operasi sampai malam. Paling harus ada ojek atau taksi, dan itu mahal. Semakin larut dan jalanan makin sepi, aku lagi-lagi merasa dipantau Won, tapi aku sudah gak takut waktu itu.

Dari Titik Nol | Rei × Heeseung [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang