DELAPAN

83 9 27
                                    

Rei menghela nafas panjang di tengah keheningan dan canggung yang tercipta di ruang tamu rumahnya. Setelah beberapa menit lalu Heeseung selesai menceritakan kesalahan fatal yang dia lakukan selama bertahun-tahun.

Ruangan itu diisi Ibu Rei, Ayah dan Ibu Heeseung, serta orang tua Karina yang duduk secara terpisah-pisah.

Heeseung sendiri hanya menunduk. Tak lagi punya nyali untuk menatap seluruh pasang mata yang mengeluarkan reaksi terhadap pengakuannya.

Perkumpulan ini mencapai empat hari kesempatan yang sangat sulit. Sampai akhirnya semua pihak setuju untuk datang hari ini setelah jam makan siang ke rumahnya dan Rei.

Rumah yang dibangun keduanya satu bulan sebelum menikah yang syukurnya selesai tepat waktu.

"Lalu, Lee Heeseung? Apa yang kamu inginkan dari kami? Tidak mungkin setelah pengakuan yang kamu berikan, entah sepenuhnya jujur atau masih ada kebohongan itu, kamu hanya ingin mengatakan itu. Pasti ada hal lain 'kan? Apa? Jangan mengulur waktu, saya sibuk." Kalimat yang keluar dari mulut wanita setengah abad itu lagi-lagi berhasil menyentil ulu hati Heeseung.

Ibu Rei yang baru saja mengeluarkan suara berubah jadi pusat perhatian. Tetapi wanita itu tidak peduli. Apabila sudah tidak memiliki kepentingan lain, wanita itu lebih baik pulang.

Setelah kematian suaminya, Ibu Rei menyibukkan diri dengan bekerja dan aktivitas lainnya. Misalnya hari ini adalah jadwal arisan bulanan di rumah temannya, harus ia lewatkan demi datang sebagai pihak keluarga Rei.

Benar-benar pasangan ini. Mengusik jadwal hariannya yang teratur.

Rei sendiri memilih memalingkan wajahnya ketika bertatapan dengan Ibunya. Wanita itu tidak pernah berubah, selalu blak-blakan, dan semaunya.

Heeseung agak gentar. Melirik Riki yang tertidur sembari bersandar pada tubuh sang Papa, nyaman. Tidak tahu menahu soal langkah selanjutnya yang akan diambil sang Papa atas kehidupannya.

Anak laki-laki yang malang.

"Begini.." Heeseung meneguk ludahnya, berat.

Rei yang menyadari keraguan Heeseung menoleh. Padahal lelaki itu begitu yakin semalam menenangkan dirinya.

Heeseung meraih lengan mungil sang istri untuk digenggam, berhasil memberikan efek tenang pada dirinya sendiri. Selalu seperti itu.

"Aku ingin Ayah dan Ibu (Heeseung menatap orang tuanya) atau Om dan Tante (beralih pada orang tua Karina), salah satu dari kalian untuk merawat Riki, karen-" ucapan Heeseung terpotong oleh Ibu Karina yang tampak kesal.

"Apa?! Setelah tidak bertanggung jawab dengan tidak menikahi putriku setelah dia hamil anakmu, kau juga ingin lari dari tanggung jawab pada putramu sendiri Lee Heeseung?! Kau benar-benar laki-laki sialan," maki Ibu Karina, tidak terima.

Heeseung gelagapan. Kalimat yang dia susun sejak tadi pagi untuk menjelaskan niatnya kembali tertelan. Tidak tahu harus mengeluarkan kata perkata yang mana.

"Bukan seperti itu Tan-"

"Halah. Kami melewatkan waktu berharga kami hanya untuk mendengarkan niat lari dari tanggung jawabmu secara terang-terangan. Sial!" potong Ibu Karina, lagi.

"Nyonya, cukup. Biarkan Heeseung melanjutkan kalimatnya dulu," interupsi Ibu Rei. Aura dominan yang keluar dari wanita itu begitu kental.

Ibu Karina menatap dengan tidak suka. "Kau, sebaiknya kau saja yang diam. Kau tidak diperlukan di sini," sinis-nya.

"Tapi dengan Anda yang selalu memotong pembicaraan Heeseung, menghambat diskusi ini. Anda membuat kami menghamburkan lebih banyak waktu. Diam dan dengarkan sampai akhir, dengan terus memotong pembicaraan seolah Anda sendiri juga enggan untuk andil bertanggung jawab atas kelakuan tercela anakmu yang merugikan putriku," kata terakhir diucap dengan begitu lirih, hingga tidak ada yang mendengarnya.

Dari Titik Nol | Rei × Heeseung [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang