DUA PULUH SATU

101 9 13
                                    

Nyonya Naoi menatap tajam wajah lelaki yang duduk santai di kursinya. Keduanya hanya terpisah sebuah meja kerja, tetapi entah kenapa Nyonya Naoi sulit sekali mengajak lelaki ini bicara.

"Kau? Sampai kapan akan terus diam seperti ini?" perkataannya ditekan sedemikian rupa.

Nyonya Naoi kelewat kesal, sudah 15 menit mereka duduk berhadapan, namun lelaki yang lebih muda tidak kunjung mendengarkan ocehannya.

Sibuk dengan ponsel dan tablet di tangan kiri dan kanan. Wanita setengah abad itu meraih tas yang sebelumnya diletakkan di lantai, bangkit dari kursi, berniat untuk pergi.

Buang-buang waktu.

Belum sempat mengambil langkah, lengannya ditahan oleh si lelaki muda yang sudah meninggalkan kesibukannya di dunia digital.

"Maaf membuat Anda menunggu, jangan pergi dulu Nyonya Na," mohonnya.

Nyonya Naoi, menghembuskan nafas kesal. Menghempas genggaman si lelaki muda dari pergelangan tangannya. Kembali duduk dan meletakkan tasnya ke tempat semula.

"Saya paling tidak suka menunggu Tuan Muda!" hardik Nyonya Naoi. Kepalang kesal.

"Sekali lagi, maafkan aku. Ini tidak akan terulang, dan perlu Anda ketahui, fokusku teralihkan karena menantumu yang sangat merepotkan itu." Sembari menyesal, lelaki itu tetap tidak ingin benar-benar disalahkan.

"Menantuku? Lee Heeseung? Ada apa lagi dengan dia?" tanya Nyonya Naoi, penasaran.

Persoalan Heeseung memang menarik untuk diulik dan dimaki habis-habisan.

"Nanti aku beritahu, sekarang katakan, apa yang membawa Anda datang kemari di hari bekerja?" Lelaki itu balik bertanya.

Lelaki itu meraih botol minuman beralkohol di bawah mejanya, menuangkan sedikit ke dua gelas yang sudah lebih dulu dilekatkan di atas meja. Menyodorkan salah satu ke hadapan wanita yang kini memasang wajah kesal.

Bukan Nyonya Naoi sekali. Mungkin itu yang dipikirkan orang-orang jika melihatnya.

Akan tetapi, bagi lelaki ini, adalah Nyonya Naoi sekali. Wanita yang katanya memiliki ekspresi datar permanen ini, di hadapannya, hanya seorang Ibu yang terus-menerus merasa tidak nyaman dan terancam.

Memohon pada pihak ini dan itu demi kebaikan putrinya.

Mudah panik dan meledak-ledak adalah sosok asli istri dari mendiang Tuan Na.

"Kapan kau akan bertindak? Sampai kapan akan terus diam di sini dan mengawasi putriku tanpa melakukan apapun? DIA BISA SAJA MATI!" teriakkan maut milik Nyonya Na membuat kuping siapapun yang mendengarnya akan berdengung.

Tetapi lelaki di hadapannya hanya tersenyum. Tidak mempermasalahkan tindakan tidak sopan seorang pekerja pada Bos-nya.

'Pengganti sementara Bos-nya'.

"Rei tidak akan mati, Anda mengenal putri Anda dengan baik Nyonya Na. Jangan khawatir berlebihan, kesehatan Anda bisa saja menurun," ingat si lelaki.

"Bertindaklah. Pisahkan mereka, saya tidak ingin kehilangan Rei, terserah dengan Heeseung," pinta Nyonya Naoi.

Lelaki itu mengangguk singkat, menyesap minumannya dengan tenang. Berbanding terbalik dengan Nyonya Naoi yang kian gelisah.

"Aku tidak akan melakukannya. Tindakan seperti itu mengotori tanganku," tolaknya.

Nyonya Naoi menggeram, kesal bukan main. "Perintahkan orang-mu!"

"Jika aku ingin melakukan hal itu, sejak mereka berpacaran pun, sudah aku lakukan. Tapi aku tidak mau, tidak akan. Biarkan saja," jawaban yang keluar dari mulut lelaki yang lebih muda selalu bisa menyulut emosi wanita di hadapannya.

Dari Titik Nol | Rei × Heeseung [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang