DUA PULUH TIGA

102 7 7
                                    

Kumandang penanda waktu salat pertama di hari ini telah usai didengarkan. Heeseung berjalan dengan dua koper ukuran sedang di kiri-kanan lengannya, masing-masing di atasnya disimpan tote bag besar. Jangan lupakan tas kecil milik Rei yang dijejali handphone serta dompet keduanya, dikalungkan di leher lelaki itu.

Rei sendiri hanya berjalan membawa dirinya sendiri, berikut selimut yang sempat dililitkan ke tubuh kecilnya oleh sang suami.

Cuaca pagi ini tidak terlalu dingin, tapi pakaian Rei kemarin memang pendek, menghindari masuk angin di hari pertama di tempat persinggahan, lebih baik menurut pada suaminya.

Sebuah rumah kontrakan ditunjuk oleh si Ibu pemilik jejeran rumah kontrakan di sana. Terdapat sekiranya 10 pintu unit kontrakan, dan menurut pengakuan si Ibu pemilik, deretan rumah di depan unit milik keduanya juga masih miliknya.

Sederet rumah-rumah berwarna kuning keemasan tampak rapih dan cantik dipandang dari luar. Pintu-pintu cokelatnya sangat serasi, terdapat satu jendela besar di sebelah kiri pintu.

Si Ibu pemilik membuka pintu yang merupakan milik Heeseung dan Rei. Menjelaskan beberapa hal yang mungkin ingin diketahui penghuni barunya.

"Seperti yang di chat 'kan? Ac, televisi, tempat tidur medium, lemari dua pintu dengan cermin," kata si Ibu pemilik menunjukkan ruang yang langsung dilihat sepasang netra Rei.

Dari membuka pintu, langsung dihadapkan dengan tempat tidur. Heeseung sendiri sudah mengatakan bahwa tempatnya tidak besar, tapi nyaman. Rei akui itu bukanlah kebohongan.

"Dapurnya sudah diisi kulkas mini, rice cooker, kompor satu tunggu dan gas sekalian. Ada meja makan lesehan mini yang bisa dilipat ke dinding setelah digunakan," jelas si Ibu pemilik yang seingat Heeseung minta disapa Mbak Seo saja.

Mbak Seo berjalan di depan, menunjukkan ruangan dibalik dinding tanpa pintu itu. Kemudian membuka pintu plastik yang sudah jelas kamar mandi di baliknya.

"Ini kamar mandi, gak ada baknya sih, tapi ada ember buat penampungan air. Cukup 'kan?" tanya Mbak Seo.

Heeseung mengangguk mengerti, sementara Rei hanya sibuk memerhatikan tanpa memberi respon berarti.

"Kalau ada apa-apa, kasih tahu saya langsung. Mau lewat chat atau ke rumah langsung juga gapapa, tahu 'kan?" Heeseung kembali mengangguk, menanggapi.

Mbak Seo yang umurnya belum sampai 40 tahun itu segera pamit setelah dirasa penghuni barunya mengerti. Mbak Seo adalah generasi kedua dari rumah kontrakan yang berjejer di sana.

Pendirinya adalah Ayahnya. Karena sudah mulai renta, sang Ayah menyerahkan tanggung jawab ini kepadanya sebagai anak tertua.

Heeseung menyimpan barang bawaannya di depan ranjang yang terdapat lemari dua pintu. Belum dibereskn, karena Heeseung berniat membawa Rei sarapan di luar dahulu.

"Kamu mau sarapan di luar? Atau mau Kakak saja yang beli terus kamu tunggu di sini?" tanya Heeseung. Rei yang baru saja melipat selimut yang sebelumnya membungkus tubuhnya itu menoleh.

Wajah berpikir Rei terlihat imut. "Di luar saja," jawab Rei.

Heeseung mengangguk, meraih dompet serta handphone-nya dari tas kecil milik Rei. Istrinya itu tidak berniat membawa apapun, dari pada berat, lebih baik membawa apa yang perlu saja.

"Kakak sewa rumah ini lewat siapa?" tanya Rei, akhirnya. Perempuan itu jelas penasaran, seingatnya, Heeseung tidak memiliki kenalan orang sini.

Kontrakan yang ditempati keduanya jelas butuh pencarian yang baik. Strategis, dekat pusat perbelanjaan, pusat kesehatan, akses jalan raya juga dekat, fasilitas di dalamnya juga terbilang mewah untuk sekadar petakan.

"Minta tolong teman, dia punya koneksi yang luas, gampang buat dia nyari tempat kayak gini. Kakak cuma sebutin apa-apa saja yang Kakak pengen tentang tempatnya, terus gak lama dia kasih lihat beberapa tipe kontrakan. Kakak pilih yang ini karena harganya paling masuk di kantong," jelas Heeseung, meski tidak bisa dikatakan menjawab pertanyaan Rei.

"Teman siapa?" tanya Rei, lagi, menyadari pertanyaan tidak dijawab dengan benar -menurutnya-.

"Ada, cowok kok. Nanti Kakak kasih lihat bukti chatting-nya."

Rei tidak ingin memperpanjang urusannya dengan mempertanyakan 'kenapa harus nanti' kepada Heeseung. Rei hanya ingin mengetahui nama orang yang dimaksud Heeseung, dia tidak perlu bukti apapun. Ya sudahlah.

Baru saja Heeseung selesai mengunci pintu kontrakan, dirinya dikejutkan dengan sebuah kaos kaki yang melayang dari arah kiri dan tepat menghantam wajahnya.

Rei mengulum senyumnya, kejadian barusan menggelitik humornya.

"Kamu dari semalam marah-marah terus ah Yang, gak seru.."

"Kamu lah, dari kemarin-kemarin ngeselin banget. Sudah ah, sana pergi, gak usah pulang sekalian. Tidur saja di pemancingan.."

"Maaf. Ayang, jangan marah dongg.."

Pekikan silih bersahut dari tetangga sebelah kiri rumah kontrakan Heeseung dan Rei. Seorang lelaki dan perempuan sibuk mengoceh, yang mana lebih banyak didominasi si perempuan.

Mungkin pasutri baru yang sedang seru-serunya bertengkar hal kecil.

Seorang wanita dengan kisaran usia 46-47 tahun mendekati kedua manusia yang tengah ribut di pagi hari ini.

"Heh, sudah. Malu tuh, ada tetangga baru, kalian malah sudah kelihatan ribut." Si wanita dengan daster ungu kebanggaan.

Si perempuan yang masih belum puas mengoceh diam, wajahnya memerah entah karena kesal atau malu kedapatan bertengkar di hadapan tetangga baru mereka.

Si lelaki akhirnya berbalik, mendapati dua manusia berlainan jenis berdiri bingung menghadap ke arah dirinya dan sang istri.

"Ah, maaf menganggu ketenangan kalian. Maaf juga atas kesan yang kurang baik." Si lelaki membungkuk kecil. Dibalas sebuah senyum maklum dari Heeseung yang mulai menggenggam tangan Rei.

"Salam kenal, Lee Heeseung." Heeseung menyodorkan tangannya, mengajak bersalaman, bersyukurnya disambut baik si lelaki yang tak kalah jangkung darinya itu.

"Halo Heeseung. Aku Park Sunghoon, panggil Sunghoon saja. Dan ini istriku, Wonyoung Park," balas si lelaki bernama Sunghoon.

Perempuan di sebelahnya alias Wonyoung mengajak perempuan yang berdiri di sebelah Heeseung. "Wonyoung."

"Rei," balas Rei.

"Ihh lucu banget, Adik?" pekikan Sunghoon berakhiran tanya yang menggelitik telinga Heeseung.

"Istriku," koreksinya.

Sunghoon membuat gerakan menutup mulut yang luar biasa berlebihan -dimata Wonyoung adalah hal biasa-. "Pedofil ya lo? Pasti masih anak SMA 'kan kamu Dek? Ngaku! Tenang sayang, kasih tahu Om, kebetulan Om Pengacara kok,", cerocos Sunghoon.

Sementara Rei terkekeh geli, ada Heeseung yang diam mematung mendengar kata 'Pengacara'. Profesi itu selalu mengingatkan Heeseung akan pengadilan yang bisa saja jadi akhir kisahnya.

Heeseung menggeleng cepat. Tidak, dia tidak akan menginjakkan kaki di tempat dengan meja hijau khas mereka. Tidak akan pernah.

"Usiaku 27 tahun." Rei akhiri drama kecil yang dibuat Sunghoon.

"Heh? Serius? 17 tahun kali." Kali ini ada Wonyoung yang menatap tidak percaya Rei dari atas hingga bawah.

Rei kembali tertawa. Tawa lepas tanpa beban yang mengundang lebih banyak orang untuk ikut serta menemani berbahagia.

Sesederhana itu mendapatkan tawa Rei.

Heeseung saja yang TOLOL.

***
Nah loh, tetanggaan sama Pengacara. Wkwkwk..

Kalau tidak salah, ada yang saranin Rei sama Sunghoon gitu di komen, tapi maaf saja ya, aku tim Jangkku garis keras. (Kalau Sunghoon-nya bukan main cast)

Kalau main cast mah sudah pasti bakal sama Rei. Jangan bosen ya, kalau tiap lihat book saya pasti main cast ceweknya selalu Rei.

Karena ya, kepala-pundak-Rei lagi-Rei lagi.































Bersambung...

Dari Titik Nol | Rei × Heeseung [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang