LIMA BELAS

73 10 9
                                    

Rei memandang pantulan dirinya di cermin. Tubuh ringkih itu hanya berbalut handuk yang menutup sebatas dada sampai atas paha. Cukup jelas untuk disadari Rei sejauh apa perubahan tubuhnya selama kurang lebih dua bulan sejak mengetahui kebenaran tentang suaminya.

Pipi bulat yang dahulu dipuji dan asyik dimainkan Heeseung menghilang. Menampilkan tulang pipi yang hampir bersentuhan langsung dengan kulit. Kantong hitam di bawah matanya membuat Rei terlihat lebih tua dari usianya.

Tangan-tangan bantat kesukaan Ayahnya tidak ada lagi. Berganti tangan-tangan kurus yang menonjolkan urat-urat penyambung kehidupan.

Rei tahu dirinya banyak berubah.

Selera makannya berkurang. Satu dua suap cukup membuat Rei tidak ingin makan sepanjang hari.

Tidak ada makan siang kiriman Heeseung yang dia nantikan, tidak ada lagi makan malam hasil memasak keduanya.

Rei hanya bertumpu pada sarapan yang masih dilakukan berdua, meski sangat sebentar dan kaku.

Tidak ada susu aneka rasa yang selalu dibelikan Heeseung setiap pulang bekerja. Bahkan Rei hampir kembung karena terlalu banyak minum susu setiap harinya.

Sekarang, perutnya mual luar biasa setiap minum air lebih dari satu gelas.

Rei menutup mulutnya. Mual itu kembali terasa, seolah banyak hal yang ingin dikeluarkan di saat hari ini dia baru makan sepotong roti bakar.

Rei mencoba memuntahkan isi perutnya, namun tidak ada yang keluar. Justru cairan kental berwarna merah pekat lah yang meluncur ke wastafel. Bukan dari mulut, melainkan dari hidungnya.

Ini adalah mimisan kesekian kali. Rei tidak lagi terkejut.

Tapi dentuman keras di kepalanya tidak bisa dikatakan akan membaik dengan hanya dibiarkan. Dengan susah payah, mengenakan pakaian dan mencoba menghubungi orang yang mungkin bisa menolongnya.

Di tengah Heeseung yang pergi selama dua hari ke Bandung. Ada Rei yang setengah mati menahan kesadarannya.

Ketika panggilan ketiga akhirnya diangkat, Rei dengan suara tercekat nyaris mati mencoba memohon.

"Ibu, tolong."

***

Ibu Rei berdiri tenang di dekat ranjang berisi putrinya yang tengah diperiksa Dokter untuk kedua kalinya karena baru saja sadar dari pingsan selama dua jam.

Gerakan Nyonya Naoi begitu anggun dan tertata, seolah dipelajari bertahun-tahun, nyaris seumur hidup.

Menyendok bubur beserta sedikit daging ayam kukus tanpa rasa. Menyodorkan ujung sendok yang dipegangnya ke mulut Rei selepas Dokter selesai memeriksa dan pamit pergi.

"Aku tidak lapar," tolak Rei. Mengalihkan pandanganya dari sorot mata sang Ibu yang begitu tenang tanpa raut khawatir.

Sejak dahulu, Ibunya selalu seperti itu. Hal-hal sebesar apapun tidak pernah mampu menembus tameng ketenangannya.

Bahkan ketika Ayah Rei meninggal dunia. Ibunya hanya sibuk memeluk Rei yang meraung seperti orang gila. Wajahnya memang sarat akan kesedihan, namun semua ditangani dengan penuh ketenangan dan tertata.

Wanita anggun berwatak keras.

Itulah Ibu Rei.

Sebab itu ketika kalimat yang keluar dari mulut Nyonya Naoi tak mengejutkan lagi bagi Rei. "Aku yakin kau tetap tidak ingin mati. Makanlah," titahnya.

Nadanya datar, tapi tepat sasaran menghunus ulu hati Rei.

"Kemana priamu?" tanya Ibu Rei ketika putrinya melahap sendok kedua dari suapan buburnya.

Dari Titik Nol | Rei × Heeseung [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang