LIMA

81 7 16
                                    

Heeseung duduk berhadapan dengan sang istri beserta Riki dalam pangkuannya. Terhitung dua hari sejak malam penuh air mata waktu itu.

Pagi ini, Rei secara tiba-tiba keluar dari kamar dan ikut duduk di meja makan bersamanya. Heeseung dengan sedikit kesulitan menyiapkan makanan untuk Rei -karena anak bernama Riki ini sangat menempel padanya-.

Di hari-hari biasa, Heeseung sering menyempatkan waktu meringankan beban urusan rumah milik Rei. Jika tidak sedang buru-buru, Heeseung akan memasak sarapan, lalu jika pulang cepat lelaki itu juga akan membantu memasak makan malam.

Di akhir pekan, mereka akan membersihkan seluruh rumah bersama-sama.

Heeseung selalu punya waktu untuk Rei. Apalagi ketika wanita itu mengandung anaknya beberapa bulan yang lalu.

Itulah yang sangat amat mengherankan menurut Rei. Heeseung selalu punya waktu untuknya, limpahan kasih sayang, perhatian, dan selalu membantunya dalam urusan rumah.

Bagaimana bisa Heeseung punya kesempatan untuk mendua? Bahkan sampai memiliki anak!

Dari sudut pandang Heeseung, dirinya terus menunggu sampai Rei memberikan keputusannya. Apalagi kemungkinan terburuk selain di ceraikan? Sepertinya tidak ada.

Tetapi, dalam lubuk hatinya, Heeseung tidak rela. Tidak akan pernah rela. Hubungan yang dia jalin hampir 10 tahun itu tidaklah mudah, enak tahun berjuang demi mendapatkan restu dari masing-masing pihak tidaklah mudah.

Heeseung tidak akan rela perjuangan keduanya harus tandas begitu saja.

Heeseung memang tidak tahu diri, tidak tahu malu, keparat ulung!

Heeseung menundukkan kepalanya menatap Riki, bocah itu begitu bersemangat menyedot susu formulanya. Wajahnya benar-benar campuran Heeseung dan Karina.

"Atau, ada kemungkinan yang lebih buruk?" pikir Heeseung.

Ada. Jelas ada kemungkinan yang lebih buruk.

Apabila Rei memilih untuk menggugat cerai suaminya. Jelas pilihan Heeseung adalah mencoba mempertahankan, lalu berserah pada hasil persidangan.

Sementara itu, ada kemungkinan yang lebih buruk. Heeseung lah yang diminta memilih.

Jikalau Rei masih sudi bersamanya, tetapi menolak kehadiran Riki. Heeseung akan dihadapkan dengan posisi yang lebih rumit lagi.

'Rei atau Riki?'

Heeseung menggeleng cepat. Mendekap tubuh berisi Riki lebih erat, lalu menatap Rei dalam.

Tidak ada salah satunya. Heeseung ingin keduanya tetap bersamanya.

"Kakak akan ke kantor hari ini." Entah itu pertanyaan atau titah yang diberikan Rei, nada bicaranya terkesan datar tanpa intonasi berarti.

"Iya," balas Heeseung, menatap Rei dengan senyum paling tulus yang dia miliki. Entah masih dipercaya atau tidak.

"Kakak akan bawa anak itu?" tanya Rei, berikutnya.

Heeseung mengangguk tanpa pilihan lain. Heeseung tidak memiliki pikiran buruk soal Rei apabila dia meninggalkan Riki di rumah. Perempuan itu jelas masih punya hati untuk tidak menyakiti anak kecil tak berdosa -mungkin-.

Tetapi Heeseung tidak ingin lebih menyusahkan Rei. Wanita itu terlalu baik untuk tidak langsung menendang dirinya keluar dari rumah.

Belum ada tanda-tanda Rei mengambil keputusan. Masih abu-abu. Mungkin, Rei hanya sedang menenangkan dirinya atas pengakuan yang dia dengar dari Heeseung.

"Em, kamu gapapa Kakak tinggal?" tanya Heeseung, pelan.

Rei bangkit dan menyimpan bekas alat-alat makannya di wastafel. Memunggungi Heeseung, kemudian menjawab, "biasanya juga seperti itu."

Dari Titik Nol | Rei × Heeseung [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang