TUJUH BELAS

70 8 19
                                    

Rei memandang kosong jalanan kota Jakarta di sore hari ini. Wanita itu sadar akan perubahan yang lagi-lagi terjadi pada dirinya.

Mengobrol dan mendengar satu lagi kebenaran yang tidak dikatakan secara gamblang oleh suaminya dari orang lain menciptakan satu garis linu di hatinya, untuk kesekian kali.

Juga perasaan yang kian ringan.

Rei tidak lagi merasa kemarahan menggebu-gebu, tidak lagi merasa ingin menangis meraung-raung minta dikasihani.

Tidak lagi.

Percakapan yang seharusnya sederhana dilakukan Rei, Ibu Rei dan Jake di sebuah restoran Jepang di dalam mall atas undangan lelaki tersebut.

"Kita jarang sekali bertemu, izinkan aku membayar tagihannya Nyonya Na. Dan tolong jangan merasa direndahkan, seumur hidup, setelah orang tuaku, kau adalah yang paling aku hormati," pinta Jake. Setelah perdebatan cukup sengit tentang bayar membayar bill.

Sembari menunggu makanan yang baru saja dipesan, Jake si lelaki yang masa remajanya melekat dengan titel playboy, mencoba mencairkan suasana yang sebenarnya tidak begitu kaku.

"Apa kesibukanmu akhir-akhir ini Jake?" tanya Nyonya Naoi, akhirnya, setelah Jake hampir kehabisan tofik.

"Aku bekerja di Aussie, Nyonya. Kebetulan aku mengambil cuti pertamaku setelah satu setengah tahun sejak terakhir kali mengajukan cuti di luar hari bekerja," jawab Jake, begitu hangat.

Rei sendiri sibuk dengan hanya memerhatikan dua manusia saling bicara di depannya. Tidak ada ponsel untuk dijadikan alibi -salahkan keputusannya untuk menaruh ponsel di tas Ibunya-, sejujurnya dia agak bosan.

"Oh iya, aku juga ikut ke Bandung tiga hari lalu. Bersama Heeseung," aku Jake.

Rei menoleh cepat ketika nama suaminya disebut. Wajahnya menyiratkan rasa penasaran yang tinggi. Jake dibuat terkekeh gemas melihat netra bulat Rei, masih sama berkilaunya di mata Jake.

"Iya Re, aku juga ikut ke Bandung tiga hari lalu. Tapi ya, kau tahu sendiri, ini tidak berjalan lancar," kata Jake, wajahnya dibuat semurung mungkin agar Rei percaya dirinya merasa tidak senang.

"Oh, kau ikut? Namamu tidak pernah disebut Heeseung," balas Ibu Rei. Wanita itu ingin tahu kelanjutan cerita dari apa yang dikatakan tidak lancar bagi Jake.

Karena yang dia tahu, Heeseung akan pulang sore ini. Melihat Jake di sini, pasti ada yang tidak beres (lagi) dari menantunya.

Jake cengengesan sebentar. "Begini Nyonya, aku memang awalnya antara ikut dan tidak. Lalu malam dimana besoknya kami berangkat, pacarku minta putus. Ya, dari pada galau di rumah apalagi di Indonesia, setidaknya di Aussie aku bisa langsung cari-cari pengganti ke club. Akhirnya aku ikut saja," jelas Jake.

Masih penggoda ulung ternyata.

"Sayang sekali jika itu tidak berjalan mulus," timpal Ibu Rei. Memancing Jake untuk lebih banyak cerita.

"Ya, dan salahkan Heeseung. Kau mungkin senang Re, karena Heeseung pulang lebih cepat dari rencana, tapi bagi kami yang ikut serta dalam perjalanan tentu saja kesal. Semua sudah direncanakan dan lelaki itu, huh, benar-benar. Mana tidak merasa bersalah lagi." Jake menunjukkan raut kesal yang kentara.

"Pantas saja Heeseung tidak banyak bicara kalau begitu. Ternyata dia penyebabnya? Memang apa yang terjadi sebenarnya Jake?"

Good job Nyonya Naoi.

Rei sendiri melirik sang Ibu yang -masih dengan wajah tanpa ekspresi- memancing Jake untuk menceritakan kejanggalan yang ada.

Jika benar mereka pulang dari Bandung lebih awal, Heeseung tidak mengabarinya. Atau bahkan sekadar basa-basi menanyakan keberadaan dirinya pun, tidak.

Dari Titik Nol | Rei × Heeseung [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang