Kepalanya rasanya sakit--sakit sekali. Entah sudah berapa kali ia dipukul ia tidak tahu. Sekarang pakaiannya sudah kotor dari cairan kental berwarna merah yang keluar dari hidungnya. Rasanya Fiona ingin pingsan saja tapi tidak bisa.
"Oh!" Perempuan itu tersenyum licik.
"Kenapa mau pingsan? Jangan dulu dong, belum puas nih nyiksanya. Makanya jangan kegatelan sama cowok orang, begini nih jadinya."
Fiona hanya terkekeh mendengarnya. Cowok orang? Pfft, sepertinya mereka sudah gila.
"Emang Kenza mau sama Lo? Sorry, Kenza enggak suka sama orang yang make up nya tebal, rambut di warnain, kuku palsu. ewh, dia enggak suka sama tipe kayak Lo."
Fiona kemudian tersenyum. "Kenapa diem? Oh! Apa perkataan gua tadi bener? Baguslah kalo lo sadar, emang perawakan Lo kayak tante-tante. Ihhh, ngeri."
"D-d-diem ngak! BANYAK OMONG LO!"
"Daripada Lo banyak gaya."
Bugh
Tidak, suara itu bukan dari Fiona yang dipukuli melainkan dirinya yang menendang perut gadis itu.
Fiona kemudian bangkit dari tempatnya dan melihat ke arah perempuan tadi yang tengah bersandar pada dinding toilet. Kakinya terkilir akibat tidak bisa menjaga keseimbangan.
Dengan susah payah ia berjalan ke arah pintu keluar toilet. Satu kakinya ia geret agar tidak merasakan sakit yang luar biasa, kakinya tadi sempat dipukuli menggunakan kayu yang entah darimana asalnya.
Ceklek
Pintu terbuka dan segera saja ia berjalan menuju ruang uks menghiraukan tatapan tajam dari gadis-gadis itu.
"Kenapa enggak dikejar?!"
"Lo mau di cap buruk sama Kenza?"
"Tapi kan dia bisa aja lapor?!"
"Enggak, enggak bakal terjadi."
Semuanya terdiam melihat ke arah gadis yang tengah tersenyum menyeramkan ke arah Fiona.
"Gue... Gue enggak mau kalo kejadian kemaren sampe terulang."
"Kemarin kita cuma beruntung bisa lepas dari kejaran polisi. Mending cari korban lain aja, pakai cara yang sama. Ampuh kan?" Lanjutnya.
"Del."
"Hm?"
"Ayah Lo masih pengedar narkoba?"
"Shhh, jangan kenceng-kenceng. Masih, kenapa emangnya?"
"Menurut Lo?"
"Jangan, pasti bakal ketahuan."
"Racun aja. Bapak gue ada setiap jenis jadi tinggal pilih aja."
"Bapak kita kali!"
"Enteng bener tu mulut tapi boleh tuh."
"Yeuuu, pabo!"
"Udah-udah beresin dulu itu darahnya Fiona. Jangan lama-lama disini nanti ketahuan yang lain."
"Masih bisa jalan?"
"Kayak enggak tau gue aja."
Perempuan itu tertawa kecil "inget, jangan sampai kelewatan cuma gara-gara ngerebut hati orang."
"Nyingkirin rival kali maksud lo."
"Serah."
.
.
.
Veronika Bimantara, adalah ketua dari perkumpulan geng mereka.
Flerin Adelia adalah perempuan yang ayahnya bandar narkoba.
Amelia lagista, ayahnya mempunyai segudang racun yang siap digunakan kapan saja.
Sheila Marsha, tugasnya selalu menjadi penengah dari permasalahan atau pertengkaran yang kerap terjadi. Tapi jangan salah, ayahnya mempunyai segudang peralatan senjata jadi memudahkan mereka untuk mengikuti tradisi keluarga nya.
Mereka berempat adalah keluarga yang mempunyai tradisi aneh--sangat aneh.
"Tidak normal bagimu tapi bagi kami adalah normal."
Bagaimana tidak normal? Tradisi mereka adalah mengharuskan keluarga mereka untuk menghabisi setidaknya sepuluh orang dalam satu tahun.
Dan jika Fiona berhasil dihabisi maka dia adalah korban ke lima dari tradisi mereka.
Flerin dan Amelia adalah saudara kembar sedang kan Marsha dan Veronika adalah anak tunggal.
Tapi mengapa mereka mau saja mengikuti tradisi tersebut? Jika mereka tidak mengikutinya siap-siap dalam waktu dekat nama mereka akan tertulis di atas batu nisan.
Dan soal mereka bisa lolos dari kejaran polisi, itu merupakan bantuan dari ayah mereka. Beberapa polisi dibuat kecanduan narkoba dan akhirnya dihabisi oleh ayah flerin dan Amelia.
Kalau Sheila dan Veronika? Gampang, mereka tinggal meneror dengan menghabisi satu-satu anggota polisi sampai tidak ada yang tersisa.
Menggunakan cara yang selalu mereka gunakan.
"Pick up the phone or you'll die."
Mengapa mereka tidak jadi buronan? Make up tebal dan lainnya adalah rencana dari penyamaran mereka. Dan hasilnya orang-orang yang mencari mereka berhasil tertipu. Setelah mengganti nama tentu saja.
°∆°
°^°
°×°