"Gelap itu pernah mengurungnya bertahun-tahun, meski sempat tidak sengaja tubuhnya dihangati terpaan sinar matahari yang masuk dari celah kecil, namun itu tidak berhasil memberikan kesembuhan pada tubuhnya yang sudah remuk dihancurkan oleh semesta."
●●●
Di dalam tidurnya, pria itu semakin gelisah. Pegangannya semakin erat pada selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Suhu ruangan sudah dihangatkan sejak lama, namun anehnya ia menggigil kedinginan. Erza kebingungan, sejak ia membawa Artha kembali ke mansion, pria itu tak kunjung membuka matanya.
PLAKK~
Suara tamparan itu terdengar begitu nyaring, wajahnya tertoleh mengikuti arah tamparan. Dibawah temaram lampu jalanan, ia harus menahan dirinya untuk terus tunduk pada pria bajingan itu yang tidak lain adalah ayahnya sendiri.
"Lagi-lagi kau hanya membuang waktuku saja! Aku membiayaimu bukan untuk mengikuti olimpiade murahan ini, bocah. Aku hanya ingin kau mempelajari dunia perbisnisan dan menghasilkan banyak uang, apa kau paham, hah?!"
"Cih, awas saja kau mempermalukanku di depan media, aku akan mengasingkanmu," ancamnya lantas meninggalkan remaja laki-laki berusia 18 tahun dengan semua luka yang semakin menganga.
Ia meludahkan darah dari mulutnya. Tak lama gemuruh petir terdengar dari balik-balik awan gelap, hujan pun turun perlahan namun kian menderas. Sedangkan Remaja itu masih berdiri ditempatnya, menikmati guyuran hujan di malam hari, dengan sebagian wajah yang sedikit memanas sebab tamparan tadi. Tamparan keras yang tidak memiliki keraguan sedikitpun untuk menghantamnya.
Seorang lelaki tanpa belas kasih dan hati nurani, dia menyesali nasibnya yang lahir dari darah seorang pria seperti itu. Seorang suami yang tak layak disebut suami—dialah, ya, dialah yang tega membuat ibunya hampir mengakhiri hidupnya sendiri.
Lelaki itu mendongak sambil memejamkan mata, membiarkan dirinya merasakan hujan yang mengguyur. Namun, beberapa saat kemudian, tak ada lagi tetesan yang jatuh di wajahnya. Dia membuka mata dan mendapati sebuah payung abu-abu besar melindunginya dari hujan. Dia menoleh untuk mencari tahu siapa pemilik payung itu.
Di sampingnya, seorang gadis tampak berjinjit dengan susah payah memegang gagang payung. Remaja laki-laki itu hanya bisa terdiam, terpaku pada tatapan mata cokelat yang kini balas menatapnya. Kesadarannya kembali ketika gadis itu menarik lengannya dengan paksa, membawanya masuk ke dalam gedung pencakar langit yang akan menjadi tempat tinggalnya sementara selama sebulan ke depan.
●●●
Pagi itu, dunia masih terbungkus dalam kabut tipis yang mengalir perlahan, seolah enggan meninggalkan malam. Langit, yang baru saja memerah dengan sentuhan pertama sinar matahari, tampak lembut dan menenangkan, seperti lukisan yang baru saja diselesaikan.
Seperti biasa pada akhir pekan Eyra akan menghabiskan waktu paginya dengan berolahraga, berlari mengelilingi jalanan kota yang masih lenggang. Tak jarang ia menyapa penghuni jalanan yang juga sedang menikmati pagi mereka seperti dirinya.
Setelah satu jam setengah langkahnya mengantarkan ia sampai di alun-alun kota. Eyra meneguk air dari botol ramping ditangannya. Ketika tubuhnya melepas penat dengan bersandar pada kursi panjang, gadis itu menangkap sosok laki-laki yang belakangan ini tak sengaja ia jumpai terus-menerus.
Eyra menajamkan padangannya untuk memastikan, dan yah, sosok itu tengah duduk terdiam dengan tatapan kosong yang entah mengarah kemana.
Apa yang ia lakukan disana. Oh iya, setelah hari itu apakah keadaannya sudah membaik?
Tanpa Eyra sadari, langkahnya tertarik mendekati tempat pria itu berada, lantas ia ikut menduduki diri di sana. Dengan canggung, Eyra berdehem.
"Hm.. apa keadaanmu sudah membaik?" sontak Artha menengok, terlihat dari alisnya yang menukik. Setiap lengkungan seakan menyimpan cerita yang mendalam, memberi kesan misterius yang tak mudah diterka.
Ia terkejut karena kehadiranku?
"Mengapa kau duduk sendirian disini?" Eyra kembali bertanya ketika ucapannya tak digubris. Artha pun tersadar.
"Oh, mansionku tak jauh dari sini," Eyra mengangguki perkataannya.
"Lalu apa yang sedang kau lakukan?" Artha terdiam kembali mengalihkan pandangannya, membuat Eyra merutuki dirinya sendiri.
Aishh, mengapa aku banyak bertanya, dan mengapa aku bertanya dia sedang apa, sudah jelas pria itu sedang duduk. Bodoh kau Eyra, malu sekali.
"Hm, ma-
"Menikmati angin pagi," lagi-lagi Eyra mengangguki jawaban yang diberikan Artha.
"Oh? Ah.. kau sedang menikmati angin pagi, yah.. itu memang baik untuk kesehatanmu."
"Memangnya aku sakit?"
"Eh, maksudku.. sehat, sehat seperti.." Eyra mendesah pelan sebab salah berucap. Sebenarnya tidak salah berucap, tetapi lelaki itu saja yang salah mengartikan.
"Yah, yah.. aku mengerti maksudmu," kini Eyra menghembuskan nafasnya lega.
Andai kalian tahu, apa yang dirasakan Eyra, berbincang berdua dengan Artha seperti ini sangatlah menguras energi jantungnya. Ia sadar keduanya sedang dilanda kecanggungan, entah karena mereka baru mengeanl atau memang kepribadian Artha sendiri. Inilah yang membuat Artha terlihat menarik dikalangan kaum hawa, menimbulkan rasa penasaran yang tinggi.
"Kau sendiri darimana?"
"Aku? Apa kau tidak bisa menebak dari pakaianku saat ini?" bukannya menjawab, Eyra melah melontarkan pertanyaan baru. Dasar wanita. Kini Eyra menyesal berkata seperti itu sebab Artha yang menatapnya dari atas sampai bawah.
"Hei! Apa kau sudah makan?" Artha menggeleng.
"Aku akan mengajakmu sarapan di tempat favoritku, mari," Eyra bangun dari duduknya dan menarik lengan pria itu dengan akrab. Sepertinya memang harus ia yang mulai aktif dalam berinteraksi, mengharapkan Artha mencairkan suasana adalah hal yang mustahil pasti.
Kini keduanya sudah duduk di salah satu stand bubur ayam yang ada di sana, Eyra berjalan ke arah tempat mereka duduk dengan membantu sang pedagang membawa mangkuk pesanannya.
Gadis itu tidak pernah melunturkan senyumannya sedetikpun sejak ia menyapa Artha di alun-alun tadi. Tentu itu berhasil membuat pemuda tampan itu terpana untuk kesekian kalinya. Seperti saat ini, Artha tak kunjung menyentuh makanannya, atensinya terus tertuju pada gadis itu yang sudah memulai sesi makannya.
"Sepertinya kau memang sudah ditakdirkan lahir sebagai seorang seniman yah, dengan melihat namamu saja semua orangpun akan tahu, Skalartha. Ada art art nya gitu," Eyra mengangkat kepalanya hendak menatap sang pemilik nama, lantas Eyra terhenyak ketika tatapannya bertemu dengan mata teduh itu.
Artha segera mengambil suapan pertamanya selang beberapa menit mereka terdiam. "Kaupun berbakat, Eyra."
Aku dipuji dosen nih.
"Oh iya.. kau juga pandai bermain alat musik rupanya," perkataannya seakan melempar Eyra pada kejadian di studio.
"Apa kau sudah baik-baik saja, tha?" Artha menatapnya sejenak, lalu mengangguk.
Rupanya itu kau. Kau memang selalu tak pernah bisa mengabaikan orang lain. Aku harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Next~
________________________________
Jangan lupa tinggalin vote sm komentar nya😊 pokoknya makasih banyak buat kalian semua, love you all❤🔥
KAMU SEDANG MEMBACA
Reset
FanfictionBagaimana rasanya ketika kamu bangun dari tidurmu, semua kenangan yang menyakitkan lenyap seketika, bukan kecelakaan bukan kebetulan, namun ini sebuah keajaiban. Kamu kembali hidup tanpa bayang-bayang masa lalu yang kelam. Namun kosong, seakan bayi...