Hari itu Jihoon baru saja pulang dari sekolah. Seragamnya yang sudah berantakan masih melekat di badan dan sepatu yang ditenteng di kedua tangan. Saat memasuki pintu depan rumahnya, yang mana juga langsung mengantarnya ke ruang tamu, ia dikejutkan dengan adanya seorang tamu yang duduk berdua dengan ibunya. Seorang wanita paruh baya, yang ia kenal dengan nama Irene, seorang janda yang tinggal sendirian di rumah besarnya di ujung desa sana.
Jihoon segera menyapanya, berusaha sopan walau penampilannya sudah jauh dari sopan karena berantakan sehabis bermain. Ia langsung berpamitan untuk pergi, kemudian melenggang menuju kamarnya untuk segera membersihkan diri dan seragamnya yang besok masih harus ia pakai lagi untuk sekolah.
Sore itu Jihoon menjalankan rutinitasnya seperti biasa. Membersihkan rumah, membantu ibunya di dapur, mengambil air, dan mengerjakan PR-nya setelah semua tugasnya selesai.
Malam hari, ketika ayahnya pulang, saat itulah ibunya mengajaknya duduk bersama di meja makan yang sejatinya tak pernah digunakan sebagaimana mestinya lalu mengatakan sesuatu yang membuatnya terkejut dan seketika itu berikan penolakan, berbeda dengan ayahnya yang justru setuju-setuju saja dengan keputusan ibunya.
"Irene, Papa tahu kan, dia mau ngelamar Jihoon buat dinikahin sama anaknya. Anaknya yang tinggal di kota itu, yang sekarang udah super sukses dan kaya."
"Iya? Bagus dong kalau gitu, Mama udah setuju kan?"
"Hah, tapi Jihoon gak mau! Jihoon gak mau nikah, Jihoon masih mau sekolah aja, mau main sama temen-temen!"
Protes itu jelas keluar bukan tanpa alasan. Pasalnya, Jihoon sudah menyaksikan banyak teman sekolahnya entah yang lebih muda atau tua dinikahkan dan setelahnya mereka semua hanya sibuk dengan kegiatan rumah tangga, tidak lagi bersekolah dan tidak pernah lagi pergi bermain dengannya dan temannya yang lain.
"Kamu jangan nolak, emangnya kamu gak mau hidup enak? Pindah ke kota, hidup enak sama suami kaya, daripada kamu di sini terus, sekolah juga kamu gak ada pinter-pinternya, mau jadi apa kalau kamu gak nikah?! Yang ada nanti kamu malah ngabisin banyak uang buat sekolah dan lain-lain, mending kamu nikah sekarang!"
"Bener apa kata Mama kamu itu, kamu loh selama ini juga gak ada potensi apa-apa. Kalau gak nikah, kamu juga gak akan jadi apa-apa, cuman buang uang aja nyekolahin kamu itu."
Malam itu adalah kali pertamanya dalam hidup menyadari bahwa kedua orang tuanya benar-benar tidak menyayanginya barang sedikit. Bagi keduanya, kehadirannya di dunia ini hanyalah beban yang harus segera disingkirkan.
Ia dipaksa untuk setuju, dan ketika Jihoon kembali suarakan penolakan, ketika itu juga lebam merah di tubuhnya kembali bertambah. Jihoon menangis semalaman, meratapi nasibnya yang tak ada baik-baiknya. Besoknya ia tak bisa pergi ke sekolah karena seluruh tubuhnya sakit sampai ke tulang. Bahkan untuk bangkit berdiri pun ia kesulitan.
Di hari berikutnya baru ia pergi sekolah sekaligus mengucapkan perpisahan pada semua temannya karena ia harus berhenti sekolah dan meninggalkan masa bermainnya untuk menikah. Lalu saat sore, setelah perpisahan panjang dan haru bersama teman-temannya, Jihoon pergi ke rumah Irene untuk menandatangani surat pernikahan, sesuai imbauan ibunya pagi tadi.
"Tanda tangan..., itu gimana?" tanya Jihoon dengan takut-takut begitu sebuah berkas disodorkan padanya.
Jihoon sudah ketakutan, tapi Irene justru menatapnya lembut. "Kamu gak diajarin caranya tanda tangan di sekolah?" tanya Irene balik dengan suara halus pula.
Jihoon mengangguk. "Tapi, biasanya aku ganti tanda tangan seminggu sekali, aku harus pakai yang mana?"
Irene terkekeh pelan mendengar jawaban tersebut. "Pilih aja salah satu yang kamu suka, terus nanti kamu harus pakai itu terus, gak boleh ganti. Setiap satu orang cuman bisa punya satu tanda tangan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Star [ kyuhoon ]
FanficB O Y S L O V E Tentang Junkyu, juga Jihoon yang temukan cinta terindah dalam hidupnya, tapi juga harus dipaksa rasakan luka yang larakan seluruh jiwa dan matikan raganya. _______________________________________ Warning ‼️ Cerita ini mengandung uns...