41 - Anonim

12.7K 576 71
                                    

Perempuan berparas ayu itu menarik tipis kedua sudut bibirnya membentuk senyuman manis tanpa membuka mata. Pagi ini Sheza bangun duluan. Dia menyukai aroma tubuh Julian, meski lembut saat terhirup indra penciuman namun tetap kuat kesan maskulinnya. Julian memiliki bau yang khas.

Membenarkan kepalanya yang menjadikan lengan Julian sebagai bantal, ia mendusal ketiak Julian mencari kenyamanan. Rasanya Sheza tak mau jauh-jauh apalagi melepas erat pelukannya dari sang kekasih.

Sayup-sayup kelopak mata perempuan itu terbuka, ia mendongak, tiba-tiba saja ingin mengulurkan jari telunjuk ke pipi Julian yang masih lelap dalam mimpi indah, menariknya mengikuti garis rahang tegas nan ketat milik lelakinya dengan perasaan bahagia. Dada Sheza berdebar.

Julian menghela nafas, dia tekuk tangannya membuat kepala Sheza di lengan menempel pada dadanya, sontak perempuan itu gelagapan kaget langsung menyembunyikan jari telunjuknya dia pejamkan mata pura-pura masih tidur.

Tentu melihat respon Sheza refleks Julian tergelak, sesungguhnya ia sudah terbangun lebih dulu dari Sheza hanya saja enggan membuka mata.

"Jangan malu," celetuk Julian. "Kagumilah ketampanan wajah suamimu ini sebelum terdapat banyak garis kerut di sana."

Membuka mata lebar, pipi Sheza merah padam. Mengapa Julian harus sepercaya diri itu? Sungguh Sheza jadi malu.

"Pak Tua, kendalikan narsistikmu!"

"Apa katamu? Pak Tua ... kurang ajar," sahut Julian tiba-tiba menggelitiki pinggang Sheza.

Seketika perempuan itu menggelinjang tertawa kuat berusaha mendorong bahkan menendang Julian yang telah mengunci pergerakannya dengan menimpa tubuhnya. Benar-benar tak bisa lari dan tersiksa rasa geli kala Julian menyerangnya dengan gelitikan bertubi-tubi.

Lelaki itu cengkeram kedua pergelangan Sheza ke atas kepala perempuan itu hanya menggunakan satu tangan, terkekeh kecil Julian dekatkan wajahnya sampai hidung mancung mereka bersentuhan.

"Memohon ampun yang benar kepada suamimu atau aku gelitiki sampai kau pingsan," ancam Julian.

"Oke, oke ... tunggu dulu," jawab Sheza berusaha menghentikan tawanya.

"Aakhh!" jerit perempuan itu saat Julian mencolek ketiaknya. "Sabar, Lian! Aku atur nafas dulu!"

Bertumbuk tatapan, keduanya saling menyorot intens. Suasana kian menegang bagi Sheza.

"Suamiku, lepaskan aku," tutur Sheza.

"Ke mana hilangnya kata 'tolong' itu?"

Memutar mata lesu, Sheza mengulangi ucapannya, "Suamiku, tolong lepaskan aku. Puas?"

"Dengan senang hati, Sayang."

Tak langsung menjauh dari atas tubuh Sheza serta melepaskan tangan Sheza, Julian malah berdecak kagum pun menatap wajah perempuannya lekat-lekat. Dia sisir ke belakang rambut Sheza menggunakan jemarinya, mengelus pipi Sheza ia belai lembut sampai perempuan itu terbuai memejamkan mata.

"Apa masih sakit?" tanya Julian halus setengah berbisik.

Sheza membuka matanya membalas tatapan Julian dengan sayu. Dia mengangguk pelan.

"Kamu merobeknya lumayan kasar," ungkap Sheza.

Mendengus penuh sesal, raut sedih tergambar jelas pada air muka lelaki itu. "Aku tidak tau cara memperlakukan seorang gadis pada situasi seperti itu, sebenarnya aku juga sudah berusaha selembut mungkin. Itu pengalaman pertama yang buruk karena telah membuat perempuan yang aku cintai merasa kesakitan. Maaf."

Gemas sekali melihat reaksi polos lelaki dewasa ini, penjelasannya terdengar jujur dengan ekspresi tidak dibuat-buat. Dia seperti orang yang berbeda dari lelaki yang sebelumnya Sheza kenal sebagai sosok kejam pun menyeramkan. Bahkan seorang bayipun sepertinya akan kalah lucu oleh sisi lain dari seorang Julian.

7 Days With JulianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang